SEBELUMNYA: Strategi Pendidikan Guru Bangsa Tjokroaminoto (1)*
RUMAH PENELEH, Malang - Pemaparan dari para pemantik diskusi tentang retorika dunia pendidikan di Indonesia membuka mata kita tentang pergeseran perspektif guru, berubah dari substansi awalnya bahwa profesi guru adalah panggilan jiwa, panggilan untuk mendidik dan mencerahkan. Moderator FGD, Sam WES melanjutkan sindiran Ari Dwi tentang guru, "Guru biasa diartikan digugu lan ditiru, tapi sekarang tak lebih dari sekedar pekerjaan. Artinya guru sekarang hampir sama dengan buruh, bahkan sama-sama demo, menuntut soal materialistik, soal gaji, kedudukan, fasilitas."
R. Bambang Rhandika (Ketua Asta Cita Perupa Malang) membuka paparannya dengan menyatakan suatu bangsa akan kurang lengkap peradabannya tanpa seni budaya, dalam kapasitasnya sebagai guru lukis yang sering melintang di Malang, seniman ini mengiyakan pernyataan bahwa guru tak selayaknya memikirkan materialistik belaka. Sekedar catatan, HOS Tjokroaminoto adalah seorang yang juga mencintai seni budaya, khususnya budaya nusantara. Hal itu dibuktikannya saat membentuk gerakan kesenian Jawa Dwipa, sebagai bentuk protes terhadap kolonial Belanda yang menganggap rendah budaya kesenian kita saat itu.
"Dalam agama, pengajaran itu bagian dari amal ibadah," kata seniman yang akrab dipanggil Simbah itu. Simbah bersama rekan-rekannya di Asta Cita Perupa Malang kerap membantu sekolah-sekolah kecil yang tak mampu membayar guru lukis, perjuangan mereka dalam tradisi seni lukis patut kita apresiasi.
Saat sesi diskusi dibuka, ada beberapa pertanyaan dan pernyataan dari peserta yang membuat diskusi jadi lebih hidup. Yusuf Wibowo, guru SMK PGRI 3 tidak setuju dengan pernyataan Ari Dwi bahwa siswa yang berbudi baik maka pengetahuan dan keterampilannya akan baik pula, karena ilmu pengetahuan adalah hasil dari akal pikiran, jadi tidak ada korelasinya dengan budi. Yusuf juga menambahkan agak bingung dengan arah diskusi ini, yakni 'guru' dalam konteks guru formal, informal atau non-formal.
Pada dasarnya hampir semua peserta dan pemantik diskusi setuju bahwa Tjokroaminoto sebagai guru bangsa pada tema diskusi malam ini jangan dikotakkan hanya pada konteks formal, informal atau non-formal, karena 'guru' itu sendiri maknanya jauh lebih dalam, lebih dari hanya sekedar panggilan atau status. Irwan Baddu, "Siapapun yang memberikan ilmu yang baik pada kita, itulah guru kita, dan harus kita hormati." Sedangkan Ari Dwi menambahkan, "Siapapun yang memberikan kita informasi berguna dan kita belajar padanya itulah guru kita, bahkan alam pun bisa jadi guru kita, karena itu bagian dari sumber belajar kita."
Tentang korelasi budi baik dan ilmu pengetahuan, Ari Dwi menanggapi, "Karya itu akan baik jika ada watak yang baik, watak itu sendiri bukan kebendaan/materialis, jika dalam ilmu pengetahuan ada aturan-aturan tertulis tentang displin ilmu tertentu, watak yang baik akan mengarahkan siswa untuk runtut dalam pembelajarannya. Sedangkan outputnya sendiri berupa karya, yang tentu berbeda antara satu pribadi dengan pribadi lain, sesuai minat dan bidangnya masing-masing."
Lebih lanjut Ari Dwi menyatakan konteks watak itu sendiri sangat normatif, kita tidak bisa menghakimi seorang baik atau buruk, karena subyektifitas kita sangat berpengaruh, belum tentu pribadi yang sekarang kita anggap baik seterusnya baik, begitupun sebaliknya. Butuh telaah dan kajian lebih lanjut untuk bisa menganggap manusia baik atau buruk, karena pada dasarnya setiap orang punya alasan masing-masing untuk berbuat sedemikian, kita tak bisa semudah itu menghakimi manusia baik atau buruk jika kita masih ingin 'memanusiakan manusia'.
Dengan semakin mudahnya orang mengakses beragam ilmu pengetahuan, guru dituntut untuk menjadi penjembatan anak didiknya dalam membentuk karakter, sehingga arahnya lebih positif. Seorang guru juga harus menjadi inspirasi di tengah arus informasi yang deras, harapannya generasi kita tak hanya dipenuhi ilmu pengetahuan, tapi juga mencari solusi atas apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi beragam permasalahan negeri. Dalam mencari inspirasi-inspirasi itu ada beberapa lembaga pendidikan yang terus mencari bagaimana kurikulum pendidikan seharusnya diterapkan, dan bagaimana metodenya. Kelompok-kelompok sebagai sekolah informal juga bisa dianggap sebagai institusi pendidikan yang secara idealis mampu membentuk kepribadian luhur di dalamnya.
Ari Dwi menambahkan, "Ada sesuatu yang salah di kurikulum pendidikan kita, karena lebih banyak mengajarkan sisi materi daripada bagaimana menyelamatkan bangsa ini. Anak-anak kita canggih, olimpiade sains sering menang, tapi setelah itu menghilang, karena landasannya tidak ada, nasionalisme yang merupakan bagian dari agama tidak ada."
Disadari atau tidak karakter bangsa ini mulai runtuh karena generasi muda kita lebih berpikir secara materialistis, mereka berpikir tentang profesi bukan dengan tujuan luhur, tapi pada nilai-nilai kebendaan atau apa yang akan mereka peroleh. Hal seperti ini perlu diperbaiki pada kurikulum kita. (dna)
SELANJUTNYA: Strategi Pendidikan Guru Bangsa Tjokroaminoto (3)*
RUMAH PENELEH, Malang - Pemaparan dari para pemantik diskusi tentang retorika dunia pendidikan di Indonesia membuka mata kita tentang pergeseran perspektif guru, berubah dari substansi awalnya bahwa profesi guru adalah panggilan jiwa, panggilan untuk mendidik dan mencerahkan. Moderator FGD, Sam WES melanjutkan sindiran Ari Dwi tentang guru, "Guru biasa diartikan digugu lan ditiru, tapi sekarang tak lebih dari sekedar pekerjaan. Artinya guru sekarang hampir sama dengan buruh, bahkan sama-sama demo, menuntut soal materialistik, soal gaji, kedudukan, fasilitas."
R. Bambang Rhandika (Ketua Asta Cita Perupa Malang) membuka paparannya dengan menyatakan suatu bangsa akan kurang lengkap peradabannya tanpa seni budaya, dalam kapasitasnya sebagai guru lukis yang sering melintang di Malang, seniman ini mengiyakan pernyataan bahwa guru tak selayaknya memikirkan materialistik belaka. Sekedar catatan, HOS Tjokroaminoto adalah seorang yang juga mencintai seni budaya, khususnya budaya nusantara. Hal itu dibuktikannya saat membentuk gerakan kesenian Jawa Dwipa, sebagai bentuk protes terhadap kolonial Belanda yang menganggap rendah budaya kesenian kita saat itu.
"Dalam agama, pengajaran itu bagian dari amal ibadah," kata seniman yang akrab dipanggil Simbah itu. Simbah bersama rekan-rekannya di Asta Cita Perupa Malang kerap membantu sekolah-sekolah kecil yang tak mampu membayar guru lukis, perjuangan mereka dalam tradisi seni lukis patut kita apresiasi.
Saat sesi diskusi dibuka, ada beberapa pertanyaan dan pernyataan dari peserta yang membuat diskusi jadi lebih hidup. Yusuf Wibowo, guru SMK PGRI 3 tidak setuju dengan pernyataan Ari Dwi bahwa siswa yang berbudi baik maka pengetahuan dan keterampilannya akan baik pula, karena ilmu pengetahuan adalah hasil dari akal pikiran, jadi tidak ada korelasinya dengan budi. Yusuf juga menambahkan agak bingung dengan arah diskusi ini, yakni 'guru' dalam konteks guru formal, informal atau non-formal.
Pada dasarnya hampir semua peserta dan pemantik diskusi setuju bahwa Tjokroaminoto sebagai guru bangsa pada tema diskusi malam ini jangan dikotakkan hanya pada konteks formal, informal atau non-formal, karena 'guru' itu sendiri maknanya jauh lebih dalam, lebih dari hanya sekedar panggilan atau status. Irwan Baddu, "Siapapun yang memberikan ilmu yang baik pada kita, itulah guru kita, dan harus kita hormati." Sedangkan Ari Dwi menambahkan, "Siapapun yang memberikan kita informasi berguna dan kita belajar padanya itulah guru kita, bahkan alam pun bisa jadi guru kita, karena itu bagian dari sumber belajar kita."
Tentang korelasi budi baik dan ilmu pengetahuan, Ari Dwi menanggapi, "Karya itu akan baik jika ada watak yang baik, watak itu sendiri bukan kebendaan/materialis, jika dalam ilmu pengetahuan ada aturan-aturan tertulis tentang displin ilmu tertentu, watak yang baik akan mengarahkan siswa untuk runtut dalam pembelajarannya. Sedangkan outputnya sendiri berupa karya, yang tentu berbeda antara satu pribadi dengan pribadi lain, sesuai minat dan bidangnya masing-masing."
Lebih lanjut Ari Dwi menyatakan konteks watak itu sendiri sangat normatif, kita tidak bisa menghakimi seorang baik atau buruk, karena subyektifitas kita sangat berpengaruh, belum tentu pribadi yang sekarang kita anggap baik seterusnya baik, begitupun sebaliknya. Butuh telaah dan kajian lebih lanjut untuk bisa menganggap manusia baik atau buruk, karena pada dasarnya setiap orang punya alasan masing-masing untuk berbuat sedemikian, kita tak bisa semudah itu menghakimi manusia baik atau buruk jika kita masih ingin 'memanusiakan manusia'.
Dengan semakin mudahnya orang mengakses beragam ilmu pengetahuan, guru dituntut untuk menjadi penjembatan anak didiknya dalam membentuk karakter, sehingga arahnya lebih positif. Seorang guru juga harus menjadi inspirasi di tengah arus informasi yang deras, harapannya generasi kita tak hanya dipenuhi ilmu pengetahuan, tapi juga mencari solusi atas apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi beragam permasalahan negeri. Dalam mencari inspirasi-inspirasi itu ada beberapa lembaga pendidikan yang terus mencari bagaimana kurikulum pendidikan seharusnya diterapkan, dan bagaimana metodenya. Kelompok-kelompok sebagai sekolah informal juga bisa dianggap sebagai institusi pendidikan yang secara idealis mampu membentuk kepribadian luhur di dalamnya.
Maka dari itu HOS Tjokroaminoto, menerapkan Islam sebagai ruh, sebagai suatu keyakinan bahwa agama adalah pembentuk kepribadian luhur, yang dengan sendirinya akan mampu mengantarkan umat kepada ilmu pengetahuan dengan tetap melandaskan pada budi luhur.
Ari Dwi menambahkan, "Ada sesuatu yang salah di kurikulum pendidikan kita, karena lebih banyak mengajarkan sisi materi daripada bagaimana menyelamatkan bangsa ini. Anak-anak kita canggih, olimpiade sains sering menang, tapi setelah itu menghilang, karena landasannya tidak ada, nasionalisme yang merupakan bagian dari agama tidak ada."
Disadari atau tidak karakter bangsa ini mulai runtuh karena generasi muda kita lebih berpikir secara materialistis, mereka berpikir tentang profesi bukan dengan tujuan luhur, tapi pada nilai-nilai kebendaan atau apa yang akan mereka peroleh. Hal seperti ini perlu diperbaiki pada kurikulum kita. (dna)
SELANJUTNYA: Strategi Pendidikan Guru Bangsa Tjokroaminoto (3)*
*Rangkuman FGD Hari Guru bertema Strategi Pendidikan Guru Bangsa Tjokroaminoto, yang diselenggarakan hari Senin 30 November 2015 di Sekretariat Yayasan Rumah Peneleh, Jl. Bogor 1 Kota Malang. FGD diadakan secara rutin oleh PUSPIN bersama Yayasan Rumah Peneleh dengan beragam tema yang berbeda di tiap pelaksanaan.

 




ConversionConversion EmoticonEmoticon