Mengenang Jang Oetama HOS Tjokroaminoto

Mengenang Jang Oetama HOS Tjokroaminoto


81 TAHUN KEPERGIAN HOS TJOKROAMINOTO
17 Desember 1934-2015

Delapan puluh satu tahun lalu, di Jogjakarta, tokoh besar pergerakan nasional pergi meninggalkan dunia menempuh perjalanan lain, dipanggil Allah SWT. Hari itu, setelah melemah lebih dari 2 bulan, fisik beliau, HOS Tjokroaminoto, di pangkuan istri tercinta, Hj. Roestina, sudah tidak berdaya, tidak dapat mengucapkan kalimat yang biasanya melengking tinggi dan menggerakkan ribuan orang, sorotan mata beliau tidak lagi tegas tetapi masih memancarkan kekuatan serta kecerdasan. Sorotan mata beliau sepertinya menerawang dan bercengkerama menyatakan siap berangkat ke "dunia lain".

Kesehatan HOS Tjokroaminoto makin memburuk setelah beliau pulang dari menghadiri Kongres PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) ke XX tanggal 20-26 Mei 1934 di Banjarnegara dan dihadiri 140 cabang seluruh Indonesia. Di forum tersebut Pak Tjokro menyelesaikan amanat dari para peserta Kongres sebelumnya, Kongres ke XIX tanggal 3-12 Maret 1933 di Jakarta, penulisan Wasiat Pedoman Ummat: Reglemen Umum Bagi Ummat Islam. Saat menyampaikan dan membacakan amanat tersebut kondisi beliau sudah sangat memprihatinkan.

Meski demikian, beliau masih sempat hadir pada acara Konferensi Provisi PSII tanggal 30 Agustus-2 September 1934 di Pare, Kediri. Beberapa kawan perjuangan melihat fisik beliau yang semakin lemah: "wajah beliau kelihatan bertambah uzur, tetapi minatnya terhadap semua pembicaraan tetap sebagai biasa." (Amelz 1952, 145 dalam Mulawarman 2015, 201). Sekembali dari menghadiri acara Konferensi PSII Jawa Timur fisik Pak Tjokro makin turun drastis. Bahkan beberapa pengurus pusat PSII mendapat kabar dari keluarga di rumah beliau tanggal 24 September 1934, sudah tidak dapat menjalankan kegiatan seperti biasa, hanya terbaring di tempat tidur (Mulawarman 2015, 201).

Sakitnya Pak Tjokro tidak hanya karena aktivitas politik, perjalanan penyadaran ke daerah-daerah, berhadapan dengan Belanda dan musuh-musuh politiknya saja. Kegiatan yang juga menguras perhatian beliau adalah pada tahun 1931, ketika beliau sedang serius menyelesaikan Tafsir Program Asas dan Program Tandhim. Saking seriusnya, penulisan tidak hanya dilakukan melalui ruang-ruang akal dan rasionalitas saja, tetapi menembus pula pada ruang-ruang lain, ruang intuitif, bahkan melampauinya, yaitu ruang spiritualitas puncak, sampai seperti digambarkan oleh sahabat karibnya, AM Sangaji, ketika dikatakan sendiri oleh Pak Tjokro, pertemuannya dengan Rasulullah SAW.

"Maka pada suatu maam Ketua Tjokro waktu membaca tafsir Al-Qur’an dengan tiba-tiba ketiduran… kita seisi rumah terkejut mendengar Ketua Tjokro bicara dengan bahasa Arab yang lancar dan fasih sekali, tapi… dalam tidur. Kita biarkan ia terus bicara dengan mengigau. Kemudian dibanguni oleh istrinya dengan pelan-pelan, sebab istrinya khawatir… Ketua Tjokro bangun dan berkata, diam saja, saya lagi ketemuan Nabi Muahmmad dan saya sedang mempelajari beberapa ayat Al Quran… lantas tidur lagi, tak lama antaranya ia meneruskan bicaranya di dalam bahasa Arab yang lancar dan fasih itu sampai selesai. Kemudian bangunlah beliau dengan sendirinya, terus ambil pena buat mencatat mimpinya tadi sambil ia ceritakan kepada kita, bahwa ia bermimpi kedatangan Nabi Muhammad SAW dengan diberi pelajaran membaca beberapa ayat Al Qur’an dengan diberi penjelasan yang tegas sekali sampai ia mengerti segala apa yang dimaksudkan. Saya merasa puas bertemu dengan Rasulullah sendiri – syukur Alhamdulillah."

Di waktu-waktu menghadapi sakit kerasnya, Pak Tjokro mendapat surat dari Anak Ideologis Kesayangannya, Soekarno, aktivis Kebangsaan yang saat itu sedang dalam pembuangan di Endeh Flores. Begitu mendengar kondisi kesehatan Ayah Ideologisnya yang semakin menurun tersebut, beliau mengirim surat, yang isinya antara lain:

"Bapak sebagai patriot besar yang menghimpun rakyat kita dalam perjuangan untuk kemerdekaan tidak akan kami lupakan untuk selama-lamanya. Saya mendoakan agar Bapak segera sembuh kembali."

Setelah menerima surat tersebut, setiap kali kawan-kawan seperjuangan Pak Tjokro datang menjenguk tak henti-hentinya beliau membacakan tulisan Soekarno (Kapitsa dan Maletin 1980, 67) dengan mata berbinar dan suara tergetar diselingi tetesan air mata bahagia. Hal yang tak pernah dilakukan kepada siapapun, mengingat beliau memang orang yang sangat tegar dan memiliki keteguhan hati, pantang menampakkan kesedihan dalam kondisi apapun. Berbeda dengan kepada Soekarno, salah satu dari kader "Jang Oetama" Pak Tjokro di Rumah Peneleh, sebagaimana dijuluki Kapitsa dan Maletin (1980, 27) "Dapurnya Api Nasionalisme".

Selama tiga bulan tanpa daya, akhirnya, pada tanggal 17 Desember 1934, bertepatan dengan tanggal 10 Ramadhan 1353 H, Pak Tjokro sudah tak dapat lagi menahan sakit dan sekaligus takdir panggilan meninggalkan dunia. Bu Hj. Roestina, sang istri tercinta, yang setiap saat selama bulan-bulan “gerahnya” beliau selalu mendampingi tak kuat menahan tangis. Di kasur kamar tidur sempit tempat menghabiskan waktu dalam sakit kerasnya, Pak Tjokro seakan di menjelang waktu itu melalui senyum nanar penuh kasih sayangnya, ingin menyampaikan kalimat: "jangan sedih sayangku, inilah waktu terindah bagiku menjalani takdir Ilahi". Melihat pandangan itu, Bu Roestina makin tak kuat menahan tangis, air mata tak terbendung membasahi sekitar, dan sekaligus menetes ke kepala Pak Tjokro yang sedang ada dalam pangkuan sang istri tercinta. Kesedihan tak ketinggalan pula muncul di pandangan anak-anak yang berada di dekat Pak Tjokro.

Sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir, Pak Tjokro memutar melihat ke semua sudut ruangan seperti meneliti dengan seksama, memandangi semua anak beliau. Satu per satu dipandangi dan diberi senyum, sampai ujung, Pak Tjokro mengernyitkan dahi, ternyata Harsono tidak ada di ruangan. Sebagaimana diketahui, Harsono pada waktu yang sama sedang berada di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, bertugas menjadi propagandis partai di sana (Soebagijo 1985, 40-42 dalam Mulawarman 2015, 202). Akhirnya setelah menarik nafas terakhir, perlahan Pak Tjokro menutup matanya dan Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Di Flores, begitu Soekarno mendengar kabar meninggalnya Sang Pahlawan Nasional, Pahlawan Islam, "Aku menangis mengenang tokoh besar pergerakan ini." (Adams 2014, 161). Tak hanya Soekarno, kesedihan dan tangis menebar ke seluruh antero nusantara hari-hari sepeninggal HOS Tjokroaminoto, baik itu anggota PSII, sahabat, murid, saudara, handai taulan, tokoh pergerakan nasional, semuanya tak terkecuali.

Pemakaman Pak Tjokro dilaksanakan dengan khidmat oleh keluarga, tokoh PSII dan tokoh pergerakan lainnya, di desa Kuncen, sebelah barat kota Jogja, yang saat ini masuk dalam wilayah kota Jogja, dan jalan besar sebelum menuju ke makam dinamai Jalan HOS Tjokroaminoto. Hari Rabu pagi, tanggal 8 September 1954, Alhamdulillah makam Pak Tjokro dipugar dan diperbaiki, oleh sebuah panitia perbaikan makam beliau, dapat diselesaikan. Acara formal dilakukan dengan dihadiri oleh cabang-cabang SI di seluruh Jawa, dan pimpinan Parlemen waktu itu, wakil kepala daerah SP Pakualaman, serta perwakilan dari partai-partai waktu itu. Sambutan-sambutan dilakukan antara lain oleh Mr. Sartono, Mr Sudarisman Purwokusumo, KH Dewantoro, dan Anwar Tjokroaminoto. Upacara diakhiri doa oleh KH Masyadat (Mingguan Politik Masyarakat, tanpa tahun).

Lelaki bernama lengkap Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto itu lahir di Bakur, Sawahan, Madiun, Jawa Timur, pada 16 Agustus 1882. Beberapa data mengatakan beliau lahir tahun 1883. Semasa kecil, Tjokro biasa dipanggil dengan Oemar Said. Dia adalah anak kedua dari 12 bersaudara, dari seorang ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, seorang pangreh praja dengan pangkat Wedana di Kleco, Madiun. Sedangkan kakeknya adalah R.M. Adipati Tjokronegoro, yang pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo. Berdasarkan silsilah keluarganya, ia memiliki darah kiai dan sekaligus priayi. Buyutnya seorang ulama Kiai Bagoes Kesan Besari, pemilik pondok pesantren di Tegal Sari, Ponorogo.

Melalui gagasan kritisnya, Tjokro mulai melakukan penyadaran Nusantara melalui Zelfbestuur atau pemerintahan sendiri. Untuk merealisasikan hal itu, Tjokro mendidik tiga orang yang nantinya akan menjadi tokoh nasional, yaitu Soekarno, Hamka dan Kartosoewirjo. Kedua muridnya, Soekarno dan Kartosoewirjo dididik di rumah Peneleh. Rumah yang terletak di di Jalan Peneleh VII No. 29–31 Surabaya tersebut merupakan pusat dari semua hal yang berkembang dalam Pergerakan Nasional di Indonesia. Khusus Hamka dikader lewat Sekolah Kader di Jogja medio 1924. Disamping perkaderan, beliau menjalankan agenda penyadaran lewat pergerakan utama, Sarekat Islam, yang nantinya berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia. Tidak hanya itu, beliau melakukan gerakan konsolidasi umat yang fenomenal, baik melalui Kongres Al Islam di Hindia Belanda serta mendorong berdirinya Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), gabungan organisasi politik secara nasional (Mulawarman 2015).

Akhirnya, seperti sering disampaikan penulis di berbagai forum nasional, sudah saatnya kita menegaskan kepedulian kita atas nasib Indonesia. Sebagaimana Tjokroaminoto menuntut mosi di Volkstraad, untuk membuat perubahan, maka sudah saatnya kita melucurkan Mosi Tjokroaminoto Baru, Hijrah Baru untuk Negeri, melalui Kebangkitan Nasional. Hari ini kita memberi pernyataan pada dunia bahwa Indonesia harus berdikari. Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri! Hari ini kita meneriakkan pada dunia bahwa Indonesia menggenggam kuat Zelfbestuur Kesemestaan Bertauhid, Pemerintahan Sendiri yang Kokoh untuk Menyongsong Semesta Bertauhid. Inilah makna Pancasila yang sejati. Sejarah menunjukkan bahwa Soekarno adalah murid yang sangat mencintai guru utamanya, HOS Tjokroaminoto, tak ada yang melebih beliau sebagaimana beliau mengucapkannya "Cerminku adalah Tjokroaminoto", artinya, Tjokroaminoto adalah guru kita semua. Mari kita semua menjadi pembaru negeri ini, bercermin pada Tjokroaminoto, menjadi manusia-manusia sadar untuk bergerak melakukan perubahan demi kebaikan, kebenaran dan kemashlahatan negeri dan semesta. Insya Allah.

Singosari, 20 Desember 2015

Aji Dedi Mulawarman
Penulis Buku Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto.