Urbanisasi dan Masalah Kesenjangan Sosial

Urbanisasi dan Masalah Kesenjangan Sosial
Sebuah survei yang dilakukan oleh Badan Sensus Amerika Serikat pada 2010 menemukan bahwa rata-rata pendapatan tahunan warganya semakin meningkat seiring dengan tingginya tingkat pendidikan mereka (Kompas, 22/11/2014). Artinya, masyarakat sangat menghargai tingkat pendidikan individu.

Namun ada sebuah paradoks dalam realitas Sosial Masyarakat Indonesia. Dewasa ini banyak pemuda dari desa yang menuntut ilmu di perguruan tinggi ternama, tentunya hal itu sangat menggembirakan apalagi pemuda sebagai pewaris peradaban bangsa yang akan melanjutkan siklus kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun Ketika kita amati tidak sedikit para sarjana yang telah lulus studi tidak bersedia kembali ke daerahnya masing-masing. Alasannya sederhana, karena lapangan pekerjaan yang sulit. Padahal pemuda yang telah menempuh pendidikan tersebut diharapakan kembali untuk membangun daerahnya. Mereka justru lebih memilih tetap tinggal di kota untuk mencari pekerjaan yang layak, karena apabila kembali ke daerahnya dan tidak mendapat pekerjaan yang layak, dan tentu mereka sangat gengsi sebagai sarjana.

Pemerataan pembangunan harus menjadi skala prioritas, karena otonomi daerah hingga saat ini tidak begitu menggembirakan progresnya, selain hanya menciptakan raja-raja kecil di daerah.
Kota-kota besar di Indonesia yang menyiapkan banyak lapangan pekerjaan tidak hanya dipenuhi oleh orang-orang yang tidak berpendidikan yang memilih pekerjaan di bidang jasa dan perdagangan, karena minimnya skil yang dimilikinya, tetapi juga banyak orang-orang dari daerah atau desa yang sudah berpendidikan tetap memilih kota sebagai pilihan pertama untuk memperbaiki taraf hidup.

Fenomena ini harus menjadi perhatian pemerintah, artinya pemerataan pembangunan harus menjadi skala prioritas, karena otonomi daerah hingga saat ini tidak begitu menggembirakan progresnya, selain hanya menciptakan raja-raja kecil di daerah. Dalam bukunya Elson, The Idea of Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Gagasan: 2009, terjadinya pemberontakan DI/TII salah satu penyebabnya adalah kecemburuan daerah-daerah terhadap Jawa karena Soekarno dianggap hanya mementingkan Jawa, sehingga pejuang-pejuang dari luar Jawa merasa cemburu dan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan pusat. Bahkan sindiran saat itu mengatakan "Indonesia Adalah Jawa". Tentu hal ini tidak ingin terulang kembali pada saat ini, terlepas riak-riaknya kerap kali kita saksikan seperti daerah-daerah yang ingin merdeka dan melepaskan diri dari Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri perasaan termarginalkan sebagai bangsa Indonesia akan mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara yang akan berujung pada disintegrasi apalagi bumbu dan pemicunya sangat kompleks misalnya masalah SARA. Pemerintah tidak bisa lagi berdalih masalah itu hanyalah masalah politik, karena “urusan perut” sebenarnya adalah masalah yang paling esensial dalam kehidupan, politik dan ekonomi tidak bisa dipisahkan. Bangsa ini membutuhkan langkah yang kongkrit, bukan lagi janji dan iming-iming, mungkin kita masih mengingat lahirnya manifesto komunis yang dicetuskan Karl Marx karena saat itu pemerintah dan lembaga agama tidak mampu lagi berperan sebagaimana mestinya bahkan agama hanya menjadi candu dan pelipur lara dengan bius surganya. Sederhana masyarakat yang lapar butuh makan tidak butuh yang lain.

Tidak mengherankan apabila fenomena urbanisasi terjadi semakin tinggi, tradisi unik yang masih berlangsung hingga saat ini yaitu, seseorang yang sukses di kota atau minimal mampu mencukupi kebutuhan hidupnya cenderung mengajak saudara atau orang-orang terdekatnya ke daerah rantau pascamudik. Di kota-kota besar harapan hidup lebih panjang, dan menikmati pendidikan yang lebih bermutu untuk anak keturunannya, mereka juga bisa mengakses berbagai kemewahan dan berbagai pilihan hidup yang lebih beragam. Sejarah telah membuktikan di berbagai belahan dunia, kesadaran dan persepsi tentang adanya perbedaan yang membuat orang nekat secara ilegal menyeberangi derasnya Sungai Rio Grande atau Laut Tengah untuk mengenyam kesempatan menikmati taraf hidup dan peluang yang ada di negara makmur (Acemoglu dan Robinson, 2014: 41). Fenomena ini juga terjadi di Indonesia meskipun dalam bentuk yang berbeda, banyaknya TKI/TKW ilegal yang akhirnya ditangkap dan dipulangkan secara paksa oleh negara-negara tetangga cukup menyesakkan dada.

Permasalahan tersebut tidak bisa semerta-merta menyalahkan mereka, perbuatan nekat itu tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan hidup yang memaksa. Minimnya biaya, ribetnya birokrasi pemerintahan, serta maraknya sogok-menyogok menambah sejuta permasalahan dan keresahan sehingga mengakumulasi menjadi tindakan yang nekat. Proses politik di pemerintahan yang sebenarnya sangat berpengaruh pada lembaga-lembaga ekonomi yang akan menguasai hajat hidup masyarakat masih menguntungkan segelintir orang yang berkuasa.

Apabila masalah kesenjangan masih terus berlangsung maka urbanisasi tidak akan bisa ditekan apalagi dihindari bahkan merupakan keniscayaan. Kesenjangan sosial dan disparitas sudah terjadi sejak zaman Penjajahan Belanda karena pemerintah memang secara sengaja membentuk kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia dalam segala aspek kehidupan terutama dalam pendidikan yang sangat merugikan peribumi. Bangsa Indonesia menjadi budak dan tertindas di negerinya sendiri sehingga melahirkan berbagai perlawanan, peristiwa sejarah tersebut menjadi memori kolektif bangsa Indonesia, maka pemerintah harus benar-benar memerhatikan kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah dan mencari solusi masalah kesenjangan yang semakin menganga, sebagai sebuah kesatuan bangsa Indonesia yang merdeka jika tidak ingin dituduh hanya meneruskan tradisi Pemerintahan Kolonial Belanda.

Mustofa, S.Pd., M.A.
Fungsionaris Masika ICMI Orwil Jatim.