Perubahan Dengan Ekstensi Habitus (1)

Perubahan Dengan Ekstensi Habitus (1)
Dr. Aji Dedi Mulawarman.
Habitus dan Realitas Tampak

Membicarakan habitus tak bisa lepas dari Pierre Bourdieu, sosiolog, filosof, posmodernis dan pakar pendidikan. Perubahan Habitus melalui pendidikan, organisasi atau budaya di Indonesia seperti dijelaskan Haryatmoko (Kompas 23/3/2007) dan Suwignyo (Kompas 3/4/2007) sebenarnya selalu merujuk pada pikiran beliau. Salah satu kontribusi besar Bourdieu adalah upaya mengkonstruksi sebuah metode yang memperhitungkan struktur maupun agensi, yaitu habitus. Habitus sebagai proses penghubung agensi (practice) dengan struktur (melalui capital dan field). Pendekatan ini dirumuskan Bourdieu (1989, 101) sebagai [(Habitus) (Capital)] + Field = Practice.
[(Habitus) (Capital)] + Field = Practice
Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas sosial. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki sekumpulan skema yang terinternalisasi dan melalui skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami, menghargai serta mengevaluasi realitas sosial. Berbagai macam skema tercakup dalam habitus, seperti konsep ruang-waktu, baik-buruk, benar-salah, untung-rugi, aliran masuk – aliran keluar, halal-haram, jual-beli, pendapatan-biaya, materi-nonmateri, subyek-obyek, tunai-kredit, kiri-kanan, ada-kosong, tengah-samping, atas-bawah, hitam-putih, berputar-lurus, dan lain-lain.

Habitus dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural atau "blinkering perception of reality" (Fowler 1997). Artinya, Habitus adalah produk historis sejak manusia lahir dan berinteraksi dalam realitas sosial. Habitus bukan kodrat, bukan bawaan ilmiah biologis maupun psikologis. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran terjadi secara halus, tidak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah.

Faktor-faktor apa yang kemudian memperbaiki, memperbaharui dan mungkin mentransformasi habitus seseorang? Di sini Bourdieu (1983) menggambarkan bentuk modal (capital) yang melampaui konsepsi aliran Marxis berkaitan dengan modal ekonomi (economic capital). Bourdieu menambahkan modal simbolik (symbolic capital) seperti prestise, pengakuan modal ekonomi itu sendiri dan modal kultural (cultural capital). Modal kultural berdasarkan pada legitimasi pengetahuan, modal sosial berhubungan dengan sang lain yang signifikan (significant others), dan modal fisik yang biasanya sebagai sub dari modal pengetahuan. Ditambahkan oleh Williams (1998) dimungkinkan adanya modal emosional (emotional capital) yang berkembang pada riset di sosiologi medis.

Keterhubungan habitus dan modal yang berinteraksi saling timbal balik dalam field telah menemukan praktik yang berada pada disposisi yang memiliki kekuatan sosialnya sendiri. Sebuah field hukum misalnya merupakan hasil keterhubungan yang kompleks dari realitas obyektif peran sosial yang terstruktur yang sekaligus subyektifitas habitus yang dominan. Kemudian membentuk field hukum yang mapan dan menguasai ruang sosial secara keras (kekuasaan politik) lewat hubungan sosial yang terjadi dengan sendirinya yang disebut doxa yang tak terhindarkan oleh setiap individu yang terjebak dalam ruang sosial tersebut. Dan sekaligus doxa menggiring terjadinya symbolic violence sang penguasa untuk mengintervensi kekuasaannya (lewat pendidikan dalam arti luas) dalam ruang sosial dalam rangka mempertahankan sistem budaya yang mapan. Kemungkinan terjadinya perubahan memang dapat dilakukan, seperti dijelaskan Bourdieu bahwa ternyata habitus seseorang tidaklah bersifat tetap dalam pilihannya atas realitas yang mapan. Habitus juga masih memberi kelenturan untuk setiap individu melakukan pilihan-pilihan atas realitas yang ada tanpa terpengaruh dengan tekanan doxa maupun symbolic violence. Meskipun dalam keseluruhannya, Bourdieu tidak pernah menyentuh "realitas tak tampak" di luar ruang sosial, yang dalam bahasa Islam, biasa disebut dengan kekuatan spiritual. Kekuatan di luar lingkungan manusia dan alam semesta ini sendiri. Hilangnya realitas tak tampak inilah yang sebenarnya menyebabkan apa yang disebut lepasnya budaya moralitas-etis apapun di dalam masyarakat kita.

SELANJUTNYA: Perubahan Dengan Ekstensi Habitus (2)

Aji Dedi Mulawarman
Ketua Yayasan Rumah Peneleh.