Pak Jokowi, Marahlah!

Pak Jokowi, Marahlah!
Pekanbaru, Riau #MelawanAsap (23/10).
Siang itu, saat Pak Jokowi dan rombongan akan meninggalkan Desa Rimbo Panjang, Riau, usai melihat langsung pembuatan kanal sebagai salah satu upaya pemadaman api di lahan gambut, saya terjebak macet, Pak, karena iring-iringan mobil Pak Jokowi dan rombongan harus didahulukan. Saya lihat mobil Bapak. Tapi Bapak pasti tidak lihat saya, kan? Motor saya berhenti paling depan, Pak, di samping polisi dan Paspampres yang mengamankan jalan untuk Bapak dan rombongan lewat tanpa hambatan.

Waktu itu, saya baru pulang dari rumah sakit setelah semalaman menjaga Ibu saya yang sedang dirawat di rumah sakit. Ibu saya mengalami gagal pernapasan karena kekurangan oksigen dalam darah. Sebelum kabut asap mengepung kami di Riau, Ibu saya memang sudah berulang-ulang masuk rumah sakit, Pak, tapi kabut asap semakin memperparah sakit Ibu saya.

Tapi, bukan karena Ibu saya dirawat di rumah sakit lantas saya meminta Pak Jokowi marah. Bukan, Pak!

Begini, Pak. Saat Bapak ke Riau, bukankah Bapak melihat kabut asap itu sudah semakin menipis dan jarak pandang sudah lebih dari 500 m. Bila sekembali ke Jakarta Bapak mengikuti berita tentang kabut asap di Riau, Bapak pasti yakin, sebagaimana kami juga sangat yakin dan terlanjur gembira, bahwa bencana kabut asap di Riau sudah teratasi dan masyarakat Riau sudah bisa bernapas lega dan kembali menikmati cahaya matahari.

Ternyata tidak, Pak. Kualitas udara yang mulai berangsur membaik dan matahari yang mulai terlihat di Riau tidak bertahan lama. Hanya seminggu, Pak. Ya, hanya seminggu kegembiraan kami itu bertahan. Makin hari, semakin ke sini, kabut asap itu kembali menebal dan semakin bebal. Terlebih dua hari terakhir, udara yang kami hirup itu sangat berbau dan jarak pandang tinggal 50 m saja, Pak. Kasihan anak-anak, Pak.

Ternyata, Pak, keseriusan Pemerintah Daerah dalam menangani bencana ini tidaklah seserius yang Bapak lihat saat berkunjung ke sini. Bila sinergi elemen pemerintah dan masyarakat dalam menangani bencana kabut asap ini seserius yang mereka tunjukkan kepada Bapak, pastilah hari ini kami sudah terbebas dari menghirup partikel beracun yang terbang bebas di udara, di luar dan di dalam rumah kami. Karena inilah Bapak harus marah!

Bapak telah ditipu oleh orang-orang yang hanya cari muka. Sebelum Bapak datang, dan saat Bapak berada di sini, mereka bekerja sepenuh daya. Namun sepeninggal Bapak, kabut asap semakin menjadi-jadi. Tidakkah Bapak merasa telah ditipu? Sebagai pemimpin tertinggi, panglima tertinggi, dan juga simbol negara, apakah tindakan penipuan terhadap Bapak bisa dimaafkan? Penipuan ini lebih berbahaya dari pencemaran nama baik, Pak. Kenapa Bapak tidak marah dan menuntut mereka? Bukankah kewenangan Bapak melebihi siapa pun di negeri ini? Marahlah, Pak! Bapak pasti bisa menon-aktifkan mereka dan mengambil alih pemerintahan di Riau, atau di seluruh Sumatera dan Kalimantan, dengan segala kewenangan yang Bapak miliki, demi menyelamatkan kami dari pembunuhan massal yang bisa saja terjadi bila bencana kabut asap ini tidak segera teratasi.

Marahlah, Pak! Agar anak-anak kami bisa kembali bermain dengan ceria dan bersekolah agar masa depan mereka cerah, secerah matahari pagi. Apakah matahari pagi itu sungguh-sungguh cerah? Kami hampir lupa, Pak.

Sekali lagi saya mohon, marahlah Pak Jokowi! Marahlah wahai Yang Terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo! Negara ini telah diperdaya, Pak. Tidakkah Bapak merasa sedang diolok-olok? Karena olok-olokan ini, hampir setiap hari Bapak dicaci maki oleh rakyat Bapak sendiri yang menganggap Bapak tidak serius dan tidak mampu memimpin bangsa yang besar ini. Tuh, kan, Bapak terus yang disalahkan. Makanya, marahlah, Pak!

Tapi, kalau Bapak tidak bisa marah karena tipu-tipu Pemerintah Daerah, karena olok-olokan mereka, karena Bapak terus disalahkan dan dicaci maki rakyat Bapak sendiri, maka marahlah kepada saya yang dengan entengnya menjatuhkan tuduhan bahwa, kebakaran hutan ini disengaja karena moratorium izin penebangan hutan telah diperpanjang, sedang negara sangat membutuhkan pendapatan yang besar dari sektor perkebunan demi menjaga cadangan devisa, dan pembakaran hutan menjadi satu-satunya cara yang elegan untuk mengonversi hutan menjadi lahan perkebunan. Apa gunanya lahan yang telah rusak bila tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk lahan perkebunan demi kepentingan (cukong) negara?

Inilah langkah nyata bela negara yang harus dilaksanakan oleh rakyat di Sumatera-Kalimantan: mati dalam kepungan kabut asap demi peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak perkebunan karena pajak yang kadang kami bayar dan lebih sering tidak, jauh lebih kecil.

Jadikanlah saudara-saudara dan anak-anak kami yang lebih dulu menemui ajal mereka, juga kami, bila kelak menyusul mati oleh sebab menghirup asap beracun ini sebagai pahlawan devisa! Buatkan kami Hari Asap Nasional ya, Pak, untuk mengingat jasa-jasa kami yang rela menghirup asap beracun ini selama 24 jam non-stop, setiap harinya, sampai mati, demi membela negara.

Umamotu Batubelah, Dalam Kepungan Jerebu, 231015.
MAU TUNGGU BANYAK NYAWA MELAYANG KARENA ASAP?

Yayasan Rumah Peneleh membuka donasi untuk distribusi tabung oksigen + masker untuk masyarakat yang terimbas bencana asap di Kalimantan dan Sumatra.

Yang Mereka Butuhkan
Tabung gas oksigen @Rp. 35.000,-
Masker standar @Rp. 15.000,-
Pengobatan gratis
Penyuluhan dan sosialisasi

Salurkan Bantuan Anda
☆ Bank Mandiri No. 144-00-1552376-1
☆ a/n Novrida Qudsi

Bantuan disalurkan 20 November 2015

Info & Konfirmasi
☆ Dana Taiko 0813-3285-2233

YAYASAN RUMAH PENELEH
☆ Graha Tamzis Jakarta, Jl. Buncit Raya 405 Jakarta Selatan, JAKARTA.
☆ Jl. Bogor 1, Malang, JATIM.

Facebook.com/rumahpeneleh
Twitter.com/rumahpeneleh
www.rumahpeneleh.or.id