Bertrand Russel seorang Atheis Radikal pernah mengungkapkan, bahwa kaum intelegensia pada zaman modern ini sama tugasnya dengan para nabi pada zaman kuno. Masa kenabian memang sudah usai, tetapi misi kenabian belum selesai selama kehidupan manusia di planet bumi ini terus berlangsung.
Barangkali yang ingin disampaikan oleh Russel berkaitan dengan moral mengingat ia adalah seorang atheis radikal, kaum cendekiawan adalah penjaga moral bangsa yang tidak boleh absen dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka dituntut untuk terus bersuara memberikan masukan dan kritik-kritik yang konstruktif untuk kepentingan bangsa. Kaum cendekiawan dianggap golongan netral yang cenderung dengan kejujuran ditengah deru kebohongan dan jarak yang semakin tipis antara dusta dengan kebenaran, selalu ada kesenjangan antara hal-hal yang normatif dan kenyataan. Ketika menengok ke belakang realitas sejarah Bangsa Indonesia mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bangsa ini dibangun dengan kebohongan-kebohongan. 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa menjelma menjadi rezim kebenaran, rakyat dibungkam, kebenaran menjadi tafsir tunggal penguasa, pemerintah tidak puas masyarakat hanya manut dengan UU yang dibuatnya bahkan pemerintah ingin menguasai seluruh kesadaran masyarakatnya. Meminjam istilah Taufik Abdullah negara menjadi The Greedy State.
Dewasa ini tidak bisa dimungkiri bahwa "politik" sering diasosiasikan dengan hal-hal yang negatif, meskipun persepsi tersebut tidak selalu benar namun tidak sepenuhnya salah. Persepsi publik tidak terbentuk dari ruang hampa, hubungan antara politik dan urusan negara membantu dalam menjelaskan mengapa gambaran negatif atau buruk sering melekat pada politik. Politik berkait erat dengan aktivitas politisi, secara kasar para politisi sering dilihat sebagai para munafik pencari kekuasaan yang menyembunyikan ambisi pribadi di balik retorika layanan masyarakat dan keyakinan ideologis. Sesungguhnya, persepsi ini menjadi semakin umum di masa modern ketika media semakin banyak mengangkat dan menyoroti kasus-kasus korupsi dan ketidakjujuran, yang kemudian memunculkan fenomena anti-politik (Heywood, 2014).
Pada ranah inilah cendekiawan dituntut untuk tampil dengan proporsional dan elegan untuk menjadi "wasit" secara adil. Memberikan informasi atau pemahaman yang baik pada publik tentang politik agar tidak phobia terhadap segala hal yang berkaitan dengan politik, di satu sisi cendekiawan harus mampu mengingatkan para politisi dan atau pejabat pemerintahan dengan kritik yang solutif apabila kebijakan-kebijakannya tidak berpihak untuk kepentingan bangsa negara, apalagi jika menyangkut etika-moral bangsa. Tetapi yang perlu diingat wasit tidak boleh merangkap menjadi pemain sehingga ada batasan-batasan yang jelas, maka peran cendekiawan jelas dan tidak akan terjadi kevakuman ilmu yang dimilikinya akan bermanfaat.
Kita seharusnya belajar kepada seorang pemimpin teladan, seperti HOS Tjokroaminoto, keberadaan tokoh ini tidak lagi berpikir siapa saya, aliran apa, dari mana, apa yang akan saya dapatkan, ia telah melampaui batas-batas semua itu. Ia dengan ikhlas keluar dari zona nyaman dan mapan hanya untuk memperjuangkan nasib bangsa yang tertindas, jika mau, pasti hidup terhormat dan sejahtera di bawah pemerintahan Belanda. Sebagai seorang priyayi dan atau terpelajar ia dihormati oleh Kolonial Belanda jika bersedia bekerjasama, tidak diragukan lagi semua kebutuhannya pasti ter-cover, tapi keindahan dan kemewahan itu tidak mampu menyilaukannya. Mereka meninggalkan itu semua demi cinta yang begitu besar pada rakyat. Masihkah ada pemimpin seperti Tjokroaminoto?
Kita mempunyai harapan yang besar pada Cendekiawan Muda (Masika ICMI) yang pada 29 Agustus 2015 ini akan dilantik, yang akan dihadiri oleh Cak Nun untuk menyampaikan Orasi Kebudayaan dan kemudian dilanjutkan bedah buku Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto karya Aji Dedi Mulawarman. Masika ICMI mencoba berkomitmen untuk mengabdikan dirinya pada bangsa-negara dengan mengambil spirit Tjokroaminoto, dengan mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai kebudayaan yang mulai ditinggalkan oleh pemuda saat ini, dengan tanpa meninggalkan gerakan politik yang berguna bagi bangsa-negara.
Sebenarnya suara-suara tentang kebaikan tidak sepi di negeri ini, namun kebaikan masih belum mewujud dalam sikap dan tindakan. Kitab suci, Pancasila, UUD 1945 hanya diagungkan lewat ucapan dan tulisan sehingga tidak heran jika korupsi, saling sikut, dan kejahatan-kejahatan lainnya masih menjadi bagian penting di negeri ini. Tidak sedikit yang beragama hanya dengan simbol kemudian menghilangkan substansi dari spirit agama tersebut sehingga menghalalkan tindakan kekerasan bahkan membunuh. Mungkin secara sederhana bisa dikatakan "Beragama tapi tidak ber-Tuhan". Masalah-masalah inilah yang menjadi tugas kita semua terutama para cendekiawan yang dipandang memunyai ilmu dan inteletual yang tinggi, kita akan menatap masa depan bangsa-negara ini dengan positif dan optimis. Sejak Indonesia Merdeka 70 tahun yang lalu kita telah berjanji sebagai kesatuan bangsa untuk terus menjaga dan merawat dengan segenap jiwa raga kita. Merdeka!
Mustofa, S.Pd., M.A.
Fungsionaris Masika ICMI Orwil Jatim.
Barangkali yang ingin disampaikan oleh Russel berkaitan dengan moral mengingat ia adalah seorang atheis radikal, kaum cendekiawan adalah penjaga moral bangsa yang tidak boleh absen dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka dituntut untuk terus bersuara memberikan masukan dan kritik-kritik yang konstruktif untuk kepentingan bangsa. Kaum cendekiawan dianggap golongan netral yang cenderung dengan kejujuran ditengah deru kebohongan dan jarak yang semakin tipis antara dusta dengan kebenaran, selalu ada kesenjangan antara hal-hal yang normatif dan kenyataan. Ketika menengok ke belakang realitas sejarah Bangsa Indonesia mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bangsa ini dibangun dengan kebohongan-kebohongan. 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa menjelma menjadi rezim kebenaran, rakyat dibungkam, kebenaran menjadi tafsir tunggal penguasa, pemerintah tidak puas masyarakat hanya manut dengan UU yang dibuatnya bahkan pemerintah ingin menguasai seluruh kesadaran masyarakatnya. Meminjam istilah Taufik Abdullah negara menjadi The Greedy State.
Kita seharusnya belajar kepada seorang pemimpin teladan, seperti HOS Tjokroaminoto, keberadaan tokoh ini tidak lagi berpikir siapa saya, aliran apa, dari mana, apa yang akan saya dapatkan, ia telah melampaui batas-batas semua itu.Harus diakui bahwa kebenaran sangat erat kaitannya dengan kekuasaan, karena kekuasaan mempunyai kekuatan untuk memproduksi kebenaran, tetapi kita terus berharap cendekiawan tidak terjebak dalam politik praktis apalagi tidak bisa menjaga jarak dengan kekuasaan. Politik dan kekuasaan selalu menyangkut kepentingan-kepentingan dan kompromi sehingga dimungkinkan akan mereduksi obyektifitas cendekiawan kalau tidak dikatakan akan membungkamnya. Seperti yang dikatakan Nurcholis Madjid, para cendekiawan adalah orang-orang yang mampu menyatakan pemikiran-pemikirannya yang up-to-date. Kita memunyai dua ormas Islam yang besar yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang tidak lama ini telah menyelenggarakan muktamar, kedua ormas ini didominasi oleh para cendekiawan bisa dipastikan bahwa harapan semua Bangsa Indonesia terhadap dua ormas ini akan terus mampu menjaga independensinya sebagai penyeimbang dan kontrol bukan justru menjadi alat politik untuk mobilisasi massa.
Dewasa ini tidak bisa dimungkiri bahwa "politik" sering diasosiasikan dengan hal-hal yang negatif, meskipun persepsi tersebut tidak selalu benar namun tidak sepenuhnya salah. Persepsi publik tidak terbentuk dari ruang hampa, hubungan antara politik dan urusan negara membantu dalam menjelaskan mengapa gambaran negatif atau buruk sering melekat pada politik. Politik berkait erat dengan aktivitas politisi, secara kasar para politisi sering dilihat sebagai para munafik pencari kekuasaan yang menyembunyikan ambisi pribadi di balik retorika layanan masyarakat dan keyakinan ideologis. Sesungguhnya, persepsi ini menjadi semakin umum di masa modern ketika media semakin banyak mengangkat dan menyoroti kasus-kasus korupsi dan ketidakjujuran, yang kemudian memunculkan fenomena anti-politik (Heywood, 2014).
Pada ranah inilah cendekiawan dituntut untuk tampil dengan proporsional dan elegan untuk menjadi "wasit" secara adil. Memberikan informasi atau pemahaman yang baik pada publik tentang politik agar tidak phobia terhadap segala hal yang berkaitan dengan politik, di satu sisi cendekiawan harus mampu mengingatkan para politisi dan atau pejabat pemerintahan dengan kritik yang solutif apabila kebijakan-kebijakannya tidak berpihak untuk kepentingan bangsa negara, apalagi jika menyangkut etika-moral bangsa. Tetapi yang perlu diingat wasit tidak boleh merangkap menjadi pemain sehingga ada batasan-batasan yang jelas, maka peran cendekiawan jelas dan tidak akan terjadi kevakuman ilmu yang dimilikinya akan bermanfaat.
Kita seharusnya belajar kepada seorang pemimpin teladan, seperti HOS Tjokroaminoto, keberadaan tokoh ini tidak lagi berpikir siapa saya, aliran apa, dari mana, apa yang akan saya dapatkan, ia telah melampaui batas-batas semua itu. Ia dengan ikhlas keluar dari zona nyaman dan mapan hanya untuk memperjuangkan nasib bangsa yang tertindas, jika mau, pasti hidup terhormat dan sejahtera di bawah pemerintahan Belanda. Sebagai seorang priyayi dan atau terpelajar ia dihormati oleh Kolonial Belanda jika bersedia bekerjasama, tidak diragukan lagi semua kebutuhannya pasti ter-cover, tapi keindahan dan kemewahan itu tidak mampu menyilaukannya. Mereka meninggalkan itu semua demi cinta yang begitu besar pada rakyat. Masihkah ada pemimpin seperti Tjokroaminoto?
Kita mempunyai harapan yang besar pada Cendekiawan Muda (Masika ICMI) yang pada 29 Agustus 2015 ini akan dilantik, yang akan dihadiri oleh Cak Nun untuk menyampaikan Orasi Kebudayaan dan kemudian dilanjutkan bedah buku Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto karya Aji Dedi Mulawarman. Masika ICMI mencoba berkomitmen untuk mengabdikan dirinya pada bangsa-negara dengan mengambil spirit Tjokroaminoto, dengan mencoba menghidupkan kembali nilai-nilai kebudayaan yang mulai ditinggalkan oleh pemuda saat ini, dengan tanpa meninggalkan gerakan politik yang berguna bagi bangsa-negara.
Sebenarnya suara-suara tentang kebaikan tidak sepi di negeri ini, namun kebaikan masih belum mewujud dalam sikap dan tindakan. Kitab suci, Pancasila, UUD 1945 hanya diagungkan lewat ucapan dan tulisan sehingga tidak heran jika korupsi, saling sikut, dan kejahatan-kejahatan lainnya masih menjadi bagian penting di negeri ini. Tidak sedikit yang beragama hanya dengan simbol kemudian menghilangkan substansi dari spirit agama tersebut sehingga menghalalkan tindakan kekerasan bahkan membunuh. Mungkin secara sederhana bisa dikatakan "Beragama tapi tidak ber-Tuhan". Masalah-masalah inilah yang menjadi tugas kita semua terutama para cendekiawan yang dipandang memunyai ilmu dan inteletual yang tinggi, kita akan menatap masa depan bangsa-negara ini dengan positif dan optimis. Sejak Indonesia Merdeka 70 tahun yang lalu kita telah berjanji sebagai kesatuan bangsa untuk terus menjaga dan merawat dengan segenap jiwa raga kita. Merdeka!
Mustofa, S.Pd., M.A.
Fungsionaris Masika ICMI Orwil Jatim.

 
ConversionConversion EmoticonEmoticon