Islamisasi Ilmu ala HOS Tjokroaminoto (2)

Islamisasi Ilmu ala HOS Tjokroaminoto (2)
Ismail Raji Al-Faruqi. Foto: Republika.
SEBELUMNYA: Islamisasi Ilmu ala HOS Tjokroaminoto (1)

Ismail Raji Al-Faruqi

Islamisasi Ilmu sendiri secara formal-linguistik biasanya ditujukan pada Ismail Raji Al-Faruqi. Menurut Al-Faruqi (1995), Islamisasi Pengetahuan sebenarnya merupakan satu tugas yang serupa sifatnya dengan tugas yang pernah dimainkan oleh nenek moyang kita yang mencerna ilmu zaman mereka dan mewariskan kepada kita peradaban dan kebudayaan Islam, walaupun ruang lingkupnya kini lebih luas. Pengertian Islamisasi Pengetahuan bagi Al-Faruqi adalah penguasaan semua disiplin Modern dengan sempurna, melakukan integrasi dalam utuhan warisan Islam dengan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-komponen pandangan dunia Islam dan menetapkan nilai-nilainya (Al-Faruqi 1995, 34-35).

Islamisasi Ilmu harus merujuk pada tiga sumbu Tawhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan berkaitan dengan tidak ada lagi pemisahan pengetahuan rasional (aqli) dan tidak rasional (naqli). Kesatuan hidup berkaitan dengan semua pengetahuan yang harus mengacu pada tujuan penciptaan, yang berdampak lanjutan pada tidak bebasnya pengetahuan dari nilai, yaitu nilai Ketuhanan. Kesatuan sejarah berkaitan kesatuan disiplin yang harus mengarah sifat keumatan dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.

Tiga prinsip kesatuan, dengan demikian tidak lagi melakukan pembagian pengetahuan dalam sains-sains yang bersifat individual maupun yang sosial, semua disiplin bersifat humanistis dan ummatis (Al-Faruqi 1995, xii). Menurut Al-Faruqi (1995, xii) untuk menjalankan tiga prinsip kesatuan tersebut diperlukan penjelasan teknis yang disebutnya sebagai Dua Belas Langkah Rencana Kerja Islamisasi Pengetahuan (lebih detil lihat Faruqi 1995). Inti dari Islamisasi adalah sintesa kreatif ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin-disiplin ilmu Modern. Sintesa ini diharapkan Al-Faruqi memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat muslim, yang digulirkan menjadi bentuk buku-buku daras dan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan realitas masyarakat muslim.

Langkah-langkah konkrit Al-Faruqi bukanlah sebuah model yang selesai. Banyak pengembangan dan kritik disampaikan, misalnya pengembangan yang dilakukan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang didirikan sendiri oleh Faruqi. Atau bahkan kritik yang disampaikan oleh Sardar (1987), Al-Attas dan banyak lagi di Indonesia seperti Mahzar (2005) dan Kuntowijoyo (2004). Menurut saya apa yang dilakukan oleh Al-Faruqi sebenarnya mirip dengan konsep koeksistensi (epistemologi berpasangan) atau epistemologi profetik dari Kuntowijoyo. Model yang agak berbeda adalah bentuk Islamisasi dari Al-Attas (Islamisasi Bahasa), Sardar (Islamisasi Sains dan Teknologi dalam Konteks Peradaban) dan Mahzar (Islamisasi Teknologi).

Pengembangan tahapan Islamisasi Ilmu oleh Safi (1996) dari IIIT misalnya dengan meringkas Dua Belas Langkah Faruqi menjadi Tiga Langkah yang lebih umum. Sedangkan kritik Sardar (1987, 85) atas proyek dan langkah Islamisasi Faruqi, adalah pada pengabaian realitas epistemologis Barat yang membangun dunia modern saat ini. Proyek Islamisasi Faruqi seakan tidak melihat kekuatan epistemologi Barat yang mendominasi seluruh lini pengetahuan yang telah berkembang saat ini. Sardar (1987, 90) menegaskan bahwa yang paling penting sebelum dilakukan proses praktis seperti Islamisasi model Faruqi adalah melakukan perubahan epistemologis Barat terlebih dahulu (Sardar 1987, 85-106).

SELANJUTNYA: Islamisasi Ilmu ala HOS Tjokroaminoto (3)

Aji Dedi Mulawarman
Ketua Yayasan Rumah Peneleh.