|  | 
| HOS Tjokroaminoto | 
SEBELUMNYA > HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (2) Tjokroaminoto dan Perjuangan Nasionalisme
MENUJU PEMIKIRAN NASIONALISME-ISLAM
Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri Islam dan Sosialisme di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober - 2 November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk Mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau orang Islam di seluruh dunia dan bantu-membantu dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang bekerja demi persatuan Islam (Pan Islamisme).
Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI - SI lokal. Dalam pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan Komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI. Sesudah Kongres CSI di Madiun, 17 - 23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, di tempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI. Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-Komunis. Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan sama rata - sama rasa. Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.
Sambil merapatkan barisan Islam dalam SI, pada 1924 Tjokro kemudian mulai aktif dalam komite-komite pembahasan kekhalifahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah di Arabia, Ibnu Saud. Tentu saja, sikap Tjokro kali ini mendapat tantangan dari kelompok Islam-Tradisional yang kemudian mendirikan NU. Selanjutnya pecah pemberontakan PKI pada tahun 1925, yang kontra-produktif terhadap gelombang pasang pergerakan nasional. Hal ini juga menimpa kegiatan Tjokroaminoto dan PSI-nya.
Pada 1928, kegiatan kaum pergerakan mulai mengarah kepada suatu persekutuan organisasi. Dalam hal ini, PSI masuk kedalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), bersama dengan PNI dan organisasi-organisasi kedaerahan. Untuk mempertahankan PSI dari ancaman nasionalisme sekuler PNI, Tjokro juga mengingatkan anggotanya agar tidak masuk organisasi yang tidak berdasar agama. Sentimen PSI yang menimbulkan serangan balik Nasionalis-Sekuler serta kecurigaan bahwa akan ada penguasaan atas PPPKI yang dilakukan PNI atau PSI, menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dalam PPPKI.
Dalam posisi ini, Tjokroaminoto bertindak sebagai tokoh kompromi untuk menyelamatkan PSI. Namun, pada 1930, PSI yang mengubah nama menjadi PSII akhirnya keluar dari PPPKI. Dalam kondisi pergerakan politik yang penuh kecurigaan ditambah lagi dengan pembatasan yang dilakukan pemerintahan kolonial, karir politik Tjokro pun berjalan meredup. Pada bulan Desember tahun 1934, Tjokroaminoto pun meninggal dunia pada usia 52 tahun.
SELANJUTNYA > HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (4) Pemikiran-Pemikiran Tjokroaminoto
Humaidi
Peserta Program Pasca-Sarjana Departemen Sejarah FIB-UI, untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Agama dan Nasionalisme, asuhan Dr. Anhar Gonggong.
MENUJU PEMIKIRAN NASIONALISME-ISLAM
Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri Islam dan Sosialisme di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober - 2 November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk Mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau orang Islam di seluruh dunia dan bantu-membantu dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang bekerja demi persatuan Islam (Pan Islamisme).
Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI - SI lokal. Dalam pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan Komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI. Sesudah Kongres CSI di Madiun, 17 - 23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, di tempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI. Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-Komunis. Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan sama rata - sama rasa. Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.
Sambil merapatkan barisan Islam dalam SI, pada 1924 Tjokro kemudian mulai aktif dalam komite-komite pembahasan kekhalifahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah di Arabia, Ibnu Saud. Tentu saja, sikap Tjokro kali ini mendapat tantangan dari kelompok Islam-Tradisional yang kemudian mendirikan NU. Selanjutnya pecah pemberontakan PKI pada tahun 1925, yang kontra-produktif terhadap gelombang pasang pergerakan nasional. Hal ini juga menimpa kegiatan Tjokroaminoto dan PSI-nya.
Pada 1928, kegiatan kaum pergerakan mulai mengarah kepada suatu persekutuan organisasi. Dalam hal ini, PSI masuk kedalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), bersama dengan PNI dan organisasi-organisasi kedaerahan. Untuk mempertahankan PSI dari ancaman nasionalisme sekuler PNI, Tjokro juga mengingatkan anggotanya agar tidak masuk organisasi yang tidak berdasar agama. Sentimen PSI yang menimbulkan serangan balik Nasionalis-Sekuler serta kecurigaan bahwa akan ada penguasaan atas PPPKI yang dilakukan PNI atau PSI, menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dalam PPPKI.
Dalam posisi ini, Tjokroaminoto bertindak sebagai tokoh kompromi untuk menyelamatkan PSI. Namun, pada 1930, PSI yang mengubah nama menjadi PSII akhirnya keluar dari PPPKI. Dalam kondisi pergerakan politik yang penuh kecurigaan ditambah lagi dengan pembatasan yang dilakukan pemerintahan kolonial, karir politik Tjokro pun berjalan meredup. Pada bulan Desember tahun 1934, Tjokroaminoto pun meninggal dunia pada usia 52 tahun.
SELANJUTNYA > HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (4) Pemikiran-Pemikiran Tjokroaminoto
Humaidi
Peserta Program Pasca-Sarjana Departemen Sejarah FIB-UI, untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Agama dan Nasionalisme, asuhan Dr. Anhar Gonggong.

ConversionConversion EmoticonEmoticon