HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (4)

HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (4)
HOS Tjokroaminoto
SEBELUMNYA > HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (3) Menuju Pemikiran Nasionalisme - Islam

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TJOKROAMINOTO

Sebenarnya, dalam paparan kehidupan Tjokro di atas, sudah menyiratkan sejauh mana Tjokro memikirkan Nasionalisme dan Islam. Namun, penulis melihat ada dua perbedaan dalam diri Tjokro dalam menafsir dan memahami Nasionalisme dan Islam. Dan perubahan hal ini terjadi ketika Tjokro berumur 40 tahun, yaitu pada 1922. Penulis memberi istilah bagi masa sebelum dan sesudah Tjokro berumur 40 tahun dengan dikotomis "Tjokro Muda" dan "Tjokro Tua". "Tjokro Muda" adalah Tjokro yang bersemangat, dan melihat Islam sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme, memperjuangkan persatuan nasional. Sementara "Tjokro Tua" adalah Tjokro yang mulai berfikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai bagian terpisah dalam menafsirkan nasionalisme.

Dalam paruh "Tjokro Muda", kita dapat menemui klaim kecenderungan Islam sebagai alat. Dalam sebuah pidatonya di sebuah vergadering di Semarang, Tjokroaminoto bercerita mengenai maksud pendirian SI sebagai sebuah perkumpulan yang dipertalikan agama. Lebih jauh ia mengungkapkan:

"Dengan alasan agama itu, kita akan berdaya upaya menjunjung martabat kita Kaum Bumiputera dengan jalan yang syah. Menurut dalil dari kitab, orang pun mesti menurut pada pemerintahan rajanya. Siapakah sekarang yang memerintahkan pada kita, bumiputera? Ya, itulah kerajaan Belanda, oleh sebab itu menurut syara agama Islam juga, kita harus menurut kerajaan Belanda. Kita mesti menepi dengan baik-baik dan setia wet wet dan pengaturan Belanda yang diadakan buat Kerajaan Belanda." Setelah itu ia berkata dengan nada lantang, "Lantaran di antara bangsa kita banyaklah kaum yang memperhatikan kepentingannya sendiri dengan menindas pada kaum yang bodoh. Maka kesatriaan kaum yang begitu sudah jadi hilang dan kesatriaannya sudah berbalik jadi penjilat pantat."

Untuk mengejar ketertinggalan kaum bumiputera, Tjokro juga tidak lupa menuturkan cerita Subali dan Sugriwa yang mencari Cupu Manik Astragino. Dalam cerita tersebut, digambarkan mengenai Subali dan Sugriwa yang siap mati untuk mendapatkan senjata itu. Tentu, penceritaan ini adalah sebuah ajakan simbolik, dengan menggunakan pendekatan world view masyarakat Jawa. Cupu diartikan sebagai adalah lambang kemajuan, sedang Subali dan Sugriwa adalah merujuk kepada kaum bumiputera yang sedang mengejar kemajuan, yang bersedia mengorbankan diri demi sebuah cita-cita. Arti penting dari pemaparan ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, kadar pemahaman Tjokro mengenai Islam tidaklah mendalam, cenderung biasa-biasa saja. Ia menjadikan Islam hanya sebatas klaim legitimasi, tetapi ia lupa mendasarkan klaimnya dari kitab apa, ayat apa. Kedua, terlihat watak sinkretis dalam pemahaman ke-Islaman Tjokro. Pada satu sisi ia mengambil pembenaran secara agama, tetapi pada sisi lain ia juga menyandarkan pada cerita wayang yang notabenenya bekas peninggalan budaya Hinduisme-Jawa yang membekas pada pemahaman golongan Islam abangan.

Pada perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat ia berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi simbol persatuan nasional. Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumiputera dibangun atas nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara, terlepas dari umur, pangkat dan status. Pada Kongres CSI 1917 di Batavia, melihat tantangan radikalisme dari Semaoen, Tjokro bahkan dengan berani mengatakan:

"Yang kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai (tahap) pemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme. CSI tidak akan mentolerir dominasi manusia terhadap manusia lainnya. CSI akan bekerjasama dengan siapa saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini."

Dengan demikian, apabila kita melihat pidato diatas, maka istilah "sama-rasa" secara awam merujuk kepada konsepsi pembentukan kelas khas Marxis. Entah, apakah disini kosakata ini muncul sebagai sesuatu konsep yang sadar, atau hanya bersifat reaktif terhadap Semaoen yang saat itu semakin radikal.

Memang, terdapat juga kecenderungan bahwa pada beberapa kesempatan, Tjokro mulai berfikir serius mengenai Islam. Misalnya, adalah kasus artikel "Djojodikoro" dalam Djawi Hiswara yang ditulis pada awal Januari 1918. Dalam artikel itu Martodharsono menulis bahwa "Gusti Kandjeng Nabi Rasul minum A.V.H. gin, minum opium dan kadang suka menghisap opium". Artikel ini mendapat perhatian Tjokro untuk menunjukkan simpatinya terhadap Islam. Tjokro membalas artikel itu dengan tulisan tandingan, bahkan juga ia membentuk dan memimpin Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) di Surabaya untuk mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum Muslim. Namun terbukti kemudian, bahwa kerja-kerja Tjokro ini bukan hanya bertujuan membela Islam, tetapi juga sebagai alat atau upaya untuk memperluas jaringan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya berdiri cabang-cabang SI yang berjalan seiring dengan pendirian TKNM.

Hal yang menandai perubahan dalam diri Tjokro, yang membuatnya lebih memikirkan Islam, adalah pada 1922. Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan memicu terjadinya perubahan dalam diri Tjokro. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, Tjokro berada dalam penjara. Keadaan ini, tentu saja dilihat Tjokro sebagai suatu proses simbolik untuk melakukan refleksi. Sangat mungkin juga, ada pemaknaan lain bahwa umur 40 tahun dalam penjara, adalah daulat akan keberadaannya sebagai pemimpin pergerakan, sama dengan umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, Setelah keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI dan menarik pengikut dari kaum buruh. Usahanya ini gagal! Tentunya, hal ini semakin menguatkan perspektif Tjokro bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain. Tjokro percaya hal itu adalah Islam.

Pemahaman baru Tjokro mengenai Islam, secara substansial tampak dalam brosur Sosialisme di dalam Islam. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran Tjokro, juga sebuah pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah teracuni komunis untuk kembali kepada SI. Brosur tersebut berisikan beberapa hal pokok, yaitu perikemanusiaan sebagai dasar bangunan Islam, perdamaian, sosialisme dan persaudaraan. Islam sama dengan sosialisme karena tiga hal, yaitu unsur kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi isi, kelihatannya Tjokroaminoto sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam dan Komunisme. Karena sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah.

Selanjutnya sebagai bukti kecenderungan pemahaman Islam sebagai sebuah ideologi, juga diarahkan secara politik. Sejak 1922 hingga 1924, Tjokro bahkan aktif menjadi pemimpin dari kongres Al-Islam yang disponsori kaum modernis (diantaranya Agus Salim dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Al-Irsyad). Selanjutnya Tjokro juga amat bersemangat dalam menanggapi isu kekhalifahan yang digulirkan Ibnu Saud. Hal yang mengakibatkan ia dicurigai berpaham Wahabiyah, yang kelak menyingkirkan keberadaan empat mazhab yang berkembang di Indonesia (khususnya di Jawa). Jelas, dalam konteks ini ide-ide Pan Islamisme sudah membayang dalam pemikiran Tjokro.

Pada akhirnya kecenderungan Pan Islamis semakin menguat dalam pemikiran Tjokro. Ketika muncul federasi PPPKI, PSI yang diketuai Tjokro sangat ingin muncul sebagai kekuatan yang menguasainya. Bahkan ia juga semakin keras berpidato mengenai dikotomi Nasionalisme Islam dan Sekuler. Kaum beragama, harus memilih organisasi yang didasarkan agama, tutur Tjokro. Arti dari gerakan Pan Islamis Tjokro ini, menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan Tjokro adalah sebuah nasionalisme, sebuah kebangsaan yang didasarkan semangat persatuan nasib. Islam maupun sekuler, dalam dikotomi ini, diakui sebagai unsur yang sedang berjuang demi nasionalisme.

SELANJUTNYA > HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (5) Catatan Penutup

Humaidi
Peserta Program Pasca-Sarjana Departemen Sejarah FIB-UI, untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Agama dan Nasionalisme, asuhan Dr. Anhar Gonggong.