HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (2)

HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (2)
HOS Tjokroaminoto
SEBELUMNYA > HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (1) Catatan Pengantar

TJOKROAMINOTO DAN PERJUANGAN NASIONALISME

Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 1882, dari keluarga priyayi di Ponorogo. Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya, sebagai Pejabat Pangreh Praja. Ia masuk Pangreh Praja pada tahun 1900 setelah menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari kedudukannya sebagai Pangreh Praja karena ia muak dengan praktek sembah jongkok yang dianggapnya sangat berbau feodal. Ia kemudian hijrah ke Surabaya, ikut sekolah malam tehnisi dan kemudian bekerja menjadi tehnisi di Pabrik Gula Rogojampi. Setelah SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi pemimpin pergerakan di Surabaya. Dari pergerakan inilah, lewat memimpin SI dan Perusahaan Setia Oesaha, ia mampu mencukupi kehidupannya.

Sebagai pemimpin SI, ia dipuja bak ksatria menang setelah perang. Ia dianggap orang yang berbakat dan mampu memikat massa. Bahkan ia juga merupakan guru yang baik, dan mampu melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara murid-murid Tjokroaminoto yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga Musso-Alimin. Sukarno, sebagaimana dikenal luas, adalah murid dan penghuni pondokan Tjokro, serta juga menantu Tjokro. Sukarno menyerap kecerdasan Tjokro, terutama dari gaya berpidato. Pada masa kemerdekaan, Sukarno dikenal sebagai tokoh nasionalis, proklamator dan presiden RI.

Kartosuwiryo, juga pernah beberapa tahun tinggal bersama Tjokro. Setelah kemerdekaan, Kartosuwiro mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno. Musso - Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan murid Tjokro. Keduanya, pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme Sukarno - Islam Kartosuwiryo - Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda oleh para muridnya. Dalam beberapa hal, ide Tjokro lebih dimengerti Sukarno yang mengolahnya menjadi Nasakom, sebagai lambang Persatuan Nasional.

Di saat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dalam aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki posisi sentral di tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya karena ia adalah Redaktur Suara Hindia, tetapi juga karena tidak adanya orator saingan dalam vargadering-vargadering SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”. Di bawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto.

Ketika terjadi polemik keanggotaan ganda dalam tubuh Sarekat Islam, Tjokro adalah tokoh yang menginginkan persatuan SI dapat dipertahankan. Ia lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai perekat antar pihak yang bertikai, walau dalam beberapa hal ia lebih dekat kepada kelompok SI - Putih. Menjelang perpecahan SI, personalitas Tjokro mulai banyak dipertanyakan. Pada 6, 7 dan 9 Oktober 1920, Dharsono membuat artikel panjang mengkritik Tjokro yang dianggap menyengsarakan SI dengan pengeluaran kepentingan pribadinya yang berjumlah besar (3000 gulden). Dharsono menuduh secara tidak langsung dengan mengatakan bahwa Tjokro terlibat penggelapan, “Mengapa CSI tidak punya uang… sedangkan Tjokro kelimpahan”, demikian tulis Dharsono.

Pada Agustus 1921, Tjokro diciduk penguasa Belanda. Hal ini merupakan kesempatan untuk membersihkan nama baiknya, karena dipenjara artinya menjadi martir dan memberinya kekuatan di masa yang akan datang. Pada April 1922, ia dibebaskan tetapi ia tidak kembali ke Jogjakarta, melainkan ia mendirikan markas baru di Kedung Jati (sebuah kota kecil strategis yang merupakan titik temu jalur kereta api Semarang dan Jogjakarta). Di kota ini, ia mulai memfokuskan diri pada Persatuan Islam, tetapi independen atau lepas dari Muhammadiyah. Pada tahun itu juga, ia mendirikan pembangunan persatuan bersama Raja Mogok, Soerjopranoto untuk menarik dukungan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) kepada CSI. Setelah propagandanya gagal, ia pun kembali ke Markas CSI di Jogjakarta. Kelak dari kegagalannya inilah, pada akhirnya Tjokro mulai merubah pandangan persatuan nasionalismenya, menuju pandangan nasionalisme yang dibangun atas dasar Islam. Jika sebelumnya, Islam dipandang secara kurang serius, hanya berfungsi sebatas pemaknaan simbolik. Maka sesudahnya ia mulai merapatkan barisan nasionalisme, dengan menyatukan kelompok Islam terlebih dahulu.

SELANJUTNYA > HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (3) Menuju Pemikiran Nasionalisme-Islam

Humaidi
Peserta Program Pasca-Sarjana Departemen Sejarah FIB-UI, untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Agama dan Nasionalisme, asuhan Dr. Anhar Gonggong.