|  | 
| HOS Tjokroaminoto | 
Dalam kontruksi sejarah Indonesia, perdebatan antara kelompok Nasionalis-Sekuler dengan Nasionalis-Agama tidak pernah selesai. Keduanya terus bertarung memperebutkan hegemoni dalam kekuasaan. Para sejarawan Indonesia cenderung menelusuri pertarungan tersebut sejak perdebatan Piagam Jakarta, tetapi ada juga yang mengambil klaim lebih jauh lagi hingga pertarungan dalam tubuh Sarekat Islam di tahun 1910-an.
Beberapa studi sejarah mengenai hal diatas, memunculkan anggapan bahwa dalam pertarungan itu, kelompok Nasionalis-Sekuler senantiasa selalu menjadi kelompok pemenang. Klaim ini mungkin benar, tetapi pada beberapa kasus, kemenangan kelompok sekuler bukannya tanpa syarat. Terdapat banyak contoh dimana pergumulan politik di Indonesia telah menghasilkan kultur politik hibrida, yang mencampurbaurkan ide-ide yang mungkin secara prinsip memiliki perbedaan. Dengan bahasa lain, kepentingan Kelompok Islam juga sudah membaur di dalamnya.
Adanya kultur hibrida ini, menyiratkan bahwa kontruksi religiusitas/keberagamaan di Indonesia mengalami proses modifikasi. Dalam arti agama yang datang tidak pernah taken for granted, melainkan mengalami adaptasi dalam bentuk akulturasi (percampuran dengan budaya setempat). Dalam konteks politik, hal ini sangat tampak terjadi ketika munculnya pergerakan nasional. Ide-ide nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial yang menjadi wabah di seantero dunia, mulai dipikirkan oleh para pemikir Islam di Indonesia. Hasilnya, lahirlah pemikiran yang menyebutkan bahwa Nasionalisme dan Islam adalah suatu hal yang memiliki kepentingan yang sama, tidak bertentangan.
Tulisan yang coba disajikan dalam paper ini, mencoba menelusuri faktisitas cara berfikir seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yaitu HOS Tjokroaminoto. Hal ini dinilai penulis penting, mengingat Tjokroaminoto adalah kunci untuk membuka tabir pemikiran bagaimana tokoh Islam memikirkan nasionalisme dalam konteks ke-Indonesiaan, melewati tapal batas sektarian dan primordial. Selain itu mempelajari cara manusia berfikir pada zamannya, dapat menggambarkan sebuah struktur jiwa jaman yang sedang membentuk – bukan terbentuk. Dan yang paling penting, belum adanya sejarawan yang mencoba memikirkan pemikiran Tjokro secara tematis.
Pemikiran teman-teman seangkatan HOS Tjokroaminoto, seperti Haji Misbach, Mas Marco, Dr. Sutomo, Wahidin serta Tjipto Mangunkusumo sudah banyak ditulis orang. Bahkan Sukarno, Kartosuwiryo dan Musso, yang notabenenya adalah murid-murid Tjokro juga telah banyak ditulis orang. Lantas mengapa Sang Guru, kita telantarkan, padahal -jika boleh mengklaim- Tjokro adalah guru bagi nasionalisme dan aktivis pergerakan di Indonesia. Sadar atau tidak, ia adalah ruh yang sesungguhnya bagi aktivis pergerakan hingga sekarang.
SELANJUTNYA > HOS Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia (2) Tjokroaminoto dan Perjuangan Nasionalisme
Humaidi
Peserta Program Pasca-Sarjana Departemen Sejarah FIB-UI, untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Agama dan Nasionalisme, asuhan Dr. Anhar Gonggong.

ConversionConversion EmoticonEmoticon