|  | 
| HOS Tjokroaminoto dalam usia yang berbeda. Foto: Saripedia. | 
Dalam pandangan Tjokroaminoto, bila umat Islam bersungguh-sungguh melaksanakan ajaran agamanya, dengan sendirinya dia akan menjadi seorang demokrat, dan dengan demikian juga sosialis. Tetapi, tidak berarti dalam pengertian demokrat dan sosialis yang mengesampingkan agama. Bukunya yang terbit tahun 1924, Islam dan Sosialisme, jelas dia menentang konsep-konsep sosialismenya Marx, juga kapitalisme, karena yang pertama menjauhkan manusia dari agama dan yang kedua memperlihatkan watak individualisme yang rakus untuk menimbun harta yang ujung-ujungnya dapat dijadikan sebagai alat penindas rakyat.
Dalam pandangan Tjokroaminoto, sosialisme Marx dan kapitalisme menjadikan benda sebagai segalanya, dan manusia sebagai obyek. Sedangkan dilihat dari sudut pandang Islam, manusia itu khalifah, subyek yang merupakan muara atas semua sistem sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Dengan sosialisme Islam, menurut Tjokro, hak individu masyarakat tetap terjamin, yang penting bukan membangun kondisi sama rata sama rasa, tetapi membangun semangat berkompetisi dengan keahlian masing-masing, karena setiap orang memang dilahirkan tidak untuk sama rata sama rasa dengan orang lain, apalagi kalau kemudian disama rasa sama ratakan melalui kediktatoran. Setiap orang bebas mengembangkan keahliannya, memperoleh kekayaan dengan keahliannya itu, namun tidak dengan jalan menindas orang lain. Bahkan Tjokro menambahkan, dengan berusaha untuk menjadi kaya raya melalui cara yang halal, maka kekayaan atau harta benda yang menurut Islam hanya titipan Tuhan itu dalam prosentase tertentu harus diberikan kepada orang lain yang masih miskin, yang disebut sedekah, di mana ada dua kategori: Sedekah yang besarnya tergantung pada kemauan atau keikhlasan yang memberikan, dan kedua yang sudah dengan ukuran prosentase tertentu dari total kekayaannya yang disebut zakat. Dan zakat ini pun ada zakat fitrah dan zakat maal. Sosialisme model ini tidak melahirkan sama rata, tetapi menimbulkan sama rasa, dalam arti sama-sama merasakan kebahagiaan karena dapat menikmati harta yang didapat dari orang yang lebih kaya secara ikhlas. Disini nasionalisme dan sosialisme berjalan beriringan, tidak ditempatkan dalam kotak-kotak yang saling bermusuhan, juga tidak diperankan sebagai ideologi yang dikotomis. Semua merupakan sistem untuk membangun masyarakat.
Disini sekali lagi terlihat keunggulan pemikiran Tjokroaminoto, dimana meskipun ajaran-ajarannya sudah 'ketinggalan' lebih dari seratus tahun, namun tampaknya malah lebih maju daripada pemikiran kelompok radikal Islam atau kelompok yang paling tahu tentang Islam di masa kini, setidaknya pada era tahun 2000-an, yang begitu sempit melihat konsep nasionalisme, demokrasi dan sosialisme sebagai “Anti Islam” bahkan merupakan barang impor dari dunia Barat yang non-Islami, dan lebih parah lagi malah dituding sebagai pemikiran kaum kafir. Sebagai misal, banyak tokoh radikal yang menyatakan demokrasi bukan saja bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan bisa merusak tatanan Islam, karena demokrasi merupakan produk kapitalis. Sebutan sosialis juga diidentikkan dengan komunisme dan atheisme karena itu juga harus diperangi. Moeslim Abdurrahman, antropolog dan Ketua Al-Maun Foundation memang juga mengakui, di samping kelompok-kelompok radikal, bahkan perorangan Islam masih banyak sekali yang anti demokrasi, di samping banyak juga yang berjuang secara sungguh-sungguh dengan keyakinan Islam untuk menegakkan demokrasi. Pengalaman sejarah yang terjadi di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Islam dalam hubungannya dengan sepak-terjang kolonialisme Barat memang menjadi salah satu pemicu, sehingga apa saja yang dianggap “Produk Barat” termasuk demokrasi dan sosialisme, secara apriori dimusuhi dan dikategorikan sebagai tidak sesuai dengan Islam. Padahal sekali lagi, sosialisme di sini adalah yang diangkat dari konsep-konsep untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diajarkan Islam, yang menghindari kediktatoran dan otoriter.
Bagi mereka yang melihat konsep sosialisme dari sisi ini, bahkan kemudian malah dijadikan sebagai salah satu bahasa perlawanan terhadap Barat. Dan ini kemudian digarisbawahi dengan munculnya rasa nasionalisme. Sebagai pihak yang pernah menjadi 'Pesakitan Kolonialisme', Islam tak lagi hanya bertahan dengan identitas kultural. Nasionalisme juga menjadi ide politik yang terbuka untuk pemerdekaan bangsa. Oleh karena itu menurut Moeslim, hubungan Islam dengan nasionalisme menjadi kesadaran yang paling kuat dan membekas dalam perlawanan yang panjang terhadap hegemoni Barat.
Beberapa negara yang merdeka dan memilih sebagai negara Islam juga memilih jalan Sosialisme Islam sebagai lawan Barat yang kapitalistik. Sosialisme menjadi dekat di negara-negara dengan masyarakat mayoritas muslim. Hanya saja, tidak beda dengan sosialisme Marx yang telah dijungkirbalikkan oleh pengikutnya sendiri di negara-negara yang mengaku sosialis tetapi rakyatnya malah menderita dipasung tirani jiwa, demikian juga sosialisme Islam telah dijungkirbalikkan sehingga tak lagi menjadi kekuatan rakyat, malah menjadi ideologi rezim politik, rezim yang korup di mata kepentingan rakyat. Di negara-negara Islam yang berkuasa adalah rezim kekuasaan yang satu sama lain bermusuhan tak ada selesainya (Media, 20/2/04).
Dan hingga kini, memang belum pernah terdengar ada negara dengan sebutan Republik Sosialis Islam atau Kerajaan Sosialis Islam dengan rakyatnya yang makmur sejahtera, tidak tertindas oleh rezim, tidak mengalami tirani jiwa karena hak-hak asasinya tersita. Tak beda dengan negara-negara yang memasang label Republik Demokrasi Rakyat atau Republik Sosialis yang memilih jalan sosialisme Marx, di mana bukan hanya kemiskinan dan tirani jiwa yang diderita rakyatnya, bahkan secara mondial negara-negara berlabel sosialis itu mengalami keruntuhan karena di mana-mana dibenci rakyatnya sendiri sebelum mencapai tahap sebagai negara komunis.
Apa yang dikemukakan oleh Moeslim Abdurrahman tersebut sesungguhnya tak jauh beda dengan yang sudah diungkap Tjokroaminoto. Dan apa yang dikemukakannya tersebut, bukanlah Tjokroisme, melainkan ajaran Islam. Tjokro hanya memetik dan mensosialisasikannya di tengah masyarakat, terutama para muridnya. Tjokro justru memperlihatkan keunggulan sosialisme Islam dalam konsep pembangunan masyarakat dibanding konsep-konsep lainnya, termasuk sosialisme Marx, komunisme dan kapitalisme.
Tjokroaminoto hanya memperkenalkan kandungan ajaran Islam tentang nasionalisme dan sosialisme yang manusiawi, tanpa harus melahirkan tirani jiwa seperti sosialisme Marx yang dibangun atas dasar diktator proletariat. Dengan sistem pasar tunggal yang dikuasai negara, dan mencabut hak-hak rakyat atas kepemilikan alat produksi, ternyata yang lahir adalah pemerataan kemiskinan dan kondisi anti demokrasi. Sementara itu sosialisme Islam justru mempersilakan setiap orang untuk membuka pasar sendiri-sendiri, berkompetisi secara jujur dan adil. Sebab seperti dikemukakan oleh mantan Menteri Agama RI Prof. Dr. Mukti Ali (alm), manusia adalah 'makhluk yang berpengharapan', juga 'makhluk yang bercita-cita'. Bukan sekadar 'makhluk yang berpikir' dan tukang 'membikin berbagai alat' atau sekadar 'makhluk yang bekerja' seperti para buruh di negara sosialis Marx. Sebagai 'makhluk yang berpengharapan' atau 'makhluk yang bercita-cita' dia menjadi kreatif, berusaha untuk menjadi manusia unggulan yang berdiri di atas pilar demokrasi yang manusiawi, seperti menghargai kebebasan (liberation), persamaan (equality) dan pengakuan terhadap hak asasi manusia (human right).
Inilah bedanya, pemikiran umat Islam masa lalu di era Tjokroaminoto, yang banyak membaca buku yang menyajikan pemikiran dari berbagai arah, termasuk buku yang bertentangan dengan Islam dalam rangka membuka wawasan. Sementara umat Islam masa kini lebih banyak mendengarkan dakwah satu arah yang tak lebih baik kualitasnya dari indoktrinasi. Malah, sebagaimana dikatakan oleh Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Musa Asyari, dalam acara Seminar Nasional Meluruskan Jalannya Reformasi, yang digelar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pendidikan agama di sekolah-sekolah kita selama ini secara umum antirealitas. Baik itu realitas plural dalam kehidupan agama secara internal dalam kehidupan agama itu sendiri maupun secara eksternal dalam kaitannya dengan agama-agama lain.
Dan model pendidikan semacam ini berlangsung mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Pendidikan agama, menurut Musa Asyari masih berkutat pada usaha untuk memonopoli kebenaran Tuhan menurut penafsirannya sendiri dan akibatnya lalu dengan gampang menghakimi orang lain yang berbeda keyakinan dan agamanya. Padahal tegas Musa Asyari, Tuhan dan kebenaran tidak pernah dapat dimonopoli seseorang atau sekelompok orang meskipun dia itu kiai, ustadz, pendeta ataupun pendekar (Media, 1/10/03).
Dan dengan mempelajari sekilas pemikiran Tjokroaminoto tentang nasionalisme dan sosialisme tersebut, baik pemikiran Daliman maupun Musa Asyari, sebenarnya malah sudah dipraktekkan oleh Tjokroaminoto dan para muridnya. Para Founding Fathers kita seperti Soekarno dan Hatta, dikenal bukan hanya mendalami Islam, dan agama lain, bahkan juga berbagai ideologi atau aliran-aliran besar di dunia termasuk Marxisme, tetapi mereka tidak lalu menjadi orang komunis. Tak mungkin Tjokroaminoto mengecam dan menentang teori sosialismenya Marx kalau tidak mempelajari teorinya. Bahkan Soekarno dan Hatta yang sudah demikian mendalam mempelajari teori-teori Marxisme, menjadi semakin tahu akan kelemahannya. Kedua tokoh ini tetap sebagai umat Islam, tetap nasionalis, tetap demokrat, tetap memperjuangkan sosialisme, namun tidak mau berangkat dari konsep materialisme, dialektika dan historisnya Marxisme. Mereka mempelajarinya sebagai ilmu.
HOS Tjokroaminoto, memang bukan hanya nasionalis sejati dan peletak dasar-dasar nasionalisme modern. Yang lebih utama dari itu semua, dia telah menanamkan kesadaran pluralisme di kalangan masyarakat, khususnya murid-muridnya. Meskipun, tak semuanya melaksanakan secara konsekuen. Contohnya, para pemuda yang dikemudian hari menjadi pimpinan PKI, seperti Semaun, Alimin dan Musso malah melakukan intervensi pada konsep nasionalisme Tjokro sehingga malah membuat SI pada era tahun 1920-an terpecah menjadi SI Putih (tetap dipimpin Tjokroaminoto) dan SI Merah (dipimpin Semaun dan Darsono). Demikian juga Kartosuwirjo yang ingin mengubah bentuk negara kesatuan menjadi Negara Islam, belasan tahun kemudian setelah Tjokroaminoto wafat.
Di masa Tjokroaminoto aktif sebagai guru mereka, dia pun menginginkan bagaimana banyak tokoh Islam yang moderat duduk dalam pemerintahan, namun tidak berarti ingin mengubah pemerintahan menjadi negara Islam karena ini akan mengingkari sendiri ajarannya tentang perlunya menghargai semua agama yang ada di Indonesia tanpa diskriminasi, tanpa ada yang menjadi kelompok penguasa atas nama agama. Dengan konstitusi nasional berdasarkan suatu agama, maka pemeluk agama lain langsung atau tidak akan terdiskriminasikan, bahkan termarjinalkan. Karena itu pulalah dia lebih banyak mengedepankan pemahaman bahwa muslim itu demokrat dan sosialis. Dengan pengertian prinsip-prinsip ini, berarti setiap umat Islam wajib menjalankan ajaran agamanya dengan menegakkan demokrasi dan menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat. Tjokroaminoto tidak mengedepankan kekuasaan Islam melainkan pengabdian Islam di tengah masyarakat yang pluralistik.
Namun sekali lagi, sayangnya banyak prinsip-prinsip ajaran Tjokroaminoto ini malah terjungkirbalikkan oleh sebagian umat Islam sendiri. Kalau Tjokro menyebutkan betapa bedanya sosialisme Islam yang humanis dengan sosialisme Marx yang totaliter, Sayyid Abdul A’la Al-Maududi malah menampilkan konsep negara Islam yang harus totaliter, sama dengan negara-negara komunis dan fasis. Dan ini telah menjadi kenyataan. Sekali lagi kita telah terperosok pada dua tiga lubang yang sama, akibat pemikiran yang sempit, sehingga di mana ada negara berlabel 'Islam', di sana tidak ada demokrasi, hanya ada totaliter. Sama seperti yang terjadi di negara-negara berlabel 'sosialis' yang malah anti sosial dan anti humanisme.
HD. Haryo Sasongko
Petikan dari "Kerukunan Beragama, Daulat Politik dan Kereta Reformasi"

ConversionConversion EmoticonEmoticon