|  | 
| HOS Tjokroaminoto. Foto: Google. | 
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104)
Apabila benar berita-berita yang kita dengar, baik dari yang kita kenal maupun dari surat kabar Islam maupun non Islam, terutama mengenai tulisan yang dimuat di Fadjar Asia, tulisan Saudara Tuan Ahmad Hilmy, seorang jurnalis Muslim terpandang, maka menjadi jelaslah cepat atau lambat, kelompok yang berkuasa di Turki, yakni kelompok Kemalis, senantiasa berusaha dengan zalimnya mereduksi kekuatan-kekuatan Islam. Kelompok Kemalis telah mereduksi kekuatan Islam yang telah berabad-abad menjadi sumber kekuatan dan pedoman hidup jutaan rakyat di Turki. Mereka dengan keras bahkan kasar meletakkan Islam di belakang dan meletakkan cita-cita asing (baca: Barat) di depan, yaitu cita-cita Kewadagan (Materialisme).
Sesungguhnya kita juga telah menegur dengan keras faham dan perilaku para Kyai dan Mullah yang berpandangan sempit serta bertentangan dengan akidah Islam sebagaimana telah ditetapkan dan di-ushwahkan Nabi Yang Suci, bahkan menjalankan Islam sesuai kemauannya sendiri. Meskipun begitu kita lebih keras tegurannya pada kelompok Muslimin Turki yang melakukan pemberontakan dan melakukan apapun seperti dikatakan oleh Tuan Hilmy sebagai: Menghalalkan segala sesuatu yang diharamkan Islam.
Kita tidak membantah, bahkan memuji, apabila Nationale Vergadering Toerki, yang pasti banyak dipengaruhi kelompok Kemalis, membuat aturan-aturan mengenai poligami yang sesuai dengan ketentuan Islam, sebagai suatu langkah untuk meyakinkan tidak terlanggarnya “kemauan” ajaran Al-Qur’an mengenai perkara itu (poligami). Kita memuji dari jauh, gerakan perubahan Kaum Kemalis untuk merubah pakaian perempuan Turki yang membungkus seluruh tubuhnya hingga hanya matanya saja yang tidak tertutup. Hal itu dilakukan agar mengindahkan cara berpakaian sesuai ajaran Islam, kaum istri dapat beraktivitas sebagai manusia yang terhormat serta mengikuti contoh para istri di jaman Islam terdahulu, yang bukan hanya menolong kaum lelaki yang gugur di medan perang, tetapi juga ambil bagian bahkan menjadi pahlawan di arena peperangan.
Kita tidak menolak usaha Kaum Kemalis dalam penggunaan topi khas Turki yang harus digunakan oleh setiap laki-laki di Turki. Perbuatan itu bukanlah sesuatu yang menyalahi Islam, karena tanda Islam atau simbol Muslim bukanlah pakaian. Topi bukanlah suatu perkara yang amat penting untuk memajukan pemikiran persamaan, kebangsaan. Tetapi, sebagaimana telah kita laksanakan di tahun 1925, kita tidak setuju atas semua usaha Kaum Kemalis untuk men-Turki-kan setiap ucapan di segenap aktivitas shalat terutama sekali lafal Surat Al-Fatihah.
Sekarang kita berdiri melakukan protes dengan seluruh jiwa raga kita, karena Agama Islam dihapuskan di Turki, sebagaimana ditegaskan di akhir tulisan Tuan Ahmad Hilmy: “Agama Baru (di Turki) saat ini adalah Penyembah Setan.” Berdasarkan tulisan Tuan Ahmad Hilmy itu pulalah kami mengajukan pertanyaan: “Itukah hasil Nasionalisme Kaum Kemalis?”
Apabila kita berfikir bahwa sepanjang faham yang umum diakui setiap orang, nasionalisme itu hanyalah masalah pemikiran, bahwa nasionalisme adalah sebuah kesepakatan atas kesepahaman untuk menjadi Satu Bangsa, bahwa nasionalisme itu adalah perasaan bersama atas suatu “Natie” (Nation), yang apabila hal itu telah direalisasikan, mereka memiliki organisasi politik yang disebut “Staat” (State), maka sungguh tersesatlah Nasionalisme Kaum Kemalis, karena dengan nasionalisme itu menjadi penyebab terancamnya Agama Islam di Turki. Nasionalisme semacam itu adalah nasionalisme yang telah menyalahi substansinya dan bahkan telah melampaui makna nasionalisme itu sendiri, dan bahkan telah berubah menjadi penyakit “modernisme” yang hanya mengakui Kewadagan (Materialisme) saja.
Di Indonesia sendiri, yang saat ini rakyatnya sedang memulai dan belajar serta membangkitkan jiwa nasionalisme, terlihat pula tanda akan menggiring nasionalisme menuju arah yang tidak benar. Beberapa saudara kita yang mengaku dirinya Muslim berkata: “Sekarang kami hendak menjadi nasionalis terlebih dahulu. Apabila negeri ini telah merdeka, maka kami akan berusaha mengatur pemerintahan berdasarkan Islam”. Jelas sekali hal tersebut merupakan perasaan nasionalisme sesat dalam pandangan Islam!
Ada pula saudara kita yang mengaku beragama Islam tetapi apabila mereka hendak berbicara di vergadering-vergadering, tidak suka mengucap “salam” menurut adat kebiasaan Muslim. Dan apabila di vergadering mereka mendengar ucapan salam dari seorang pembicara Muslim, mereka tidak menjawabnya. Padahal sebagaimana telah jelas di Quran Surat An-Nisa’: 86 Allah Ta’ala memerintahkan: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Ada pula beberapa saudara yang mengaku beragama Islam tetapi dalam ber-nasionalisme mereka bersikap neutraal terhadap semua agama bahkan kepada agamanya sendiri (Islam). Sungguh tersesatlah nasionalisme yang demikian itu bagi kita sebagai orang Muslim. Oleh karena itu, agar tidak makin jauh kesesatan nasionalisme seperti itu dalam dunia Islam kita, akan kami jelaskan apa itu Nasionalisme dalam Islam.
SELANJUTNYA > HOS Tjokroaminoto: Islam Dan Nasionalisme (2) Nasionalisme dalam Islam
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
Disadur dari koran Fadjar Asia 14 Dzulhijah 1347 – Jum’at 24 Mei 1929 oleh Dr. Aji Dedi Mulawarman (Kang Aji). Tulisan ini telah disesuaikan, Insya Allah tanpa merubah makna dan substansi isi dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) menurut Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sesungguhnya kita juga telah menegur dengan keras faham dan perilaku para Kyai dan Mullah yang berpandangan sempit serta bertentangan dengan akidah Islam sebagaimana telah ditetapkan dan di-ushwahkan Nabi Yang Suci, bahkan menjalankan Islam sesuai kemauannya sendiri. Meskipun begitu kita lebih keras tegurannya pada kelompok Muslimin Turki yang melakukan pemberontakan dan melakukan apapun seperti dikatakan oleh Tuan Hilmy sebagai: Menghalalkan segala sesuatu yang diharamkan Islam.
Kita tidak membantah, bahkan memuji, apabila Nationale Vergadering Toerki, yang pasti banyak dipengaruhi kelompok Kemalis, membuat aturan-aturan mengenai poligami yang sesuai dengan ketentuan Islam, sebagai suatu langkah untuk meyakinkan tidak terlanggarnya “kemauan” ajaran Al-Qur’an mengenai perkara itu (poligami). Kita memuji dari jauh, gerakan perubahan Kaum Kemalis untuk merubah pakaian perempuan Turki yang membungkus seluruh tubuhnya hingga hanya matanya saja yang tidak tertutup. Hal itu dilakukan agar mengindahkan cara berpakaian sesuai ajaran Islam, kaum istri dapat beraktivitas sebagai manusia yang terhormat serta mengikuti contoh para istri di jaman Islam terdahulu, yang bukan hanya menolong kaum lelaki yang gugur di medan perang, tetapi juga ambil bagian bahkan menjadi pahlawan di arena peperangan.
Kita tidak menolak usaha Kaum Kemalis dalam penggunaan topi khas Turki yang harus digunakan oleh setiap laki-laki di Turki. Perbuatan itu bukanlah sesuatu yang menyalahi Islam, karena tanda Islam atau simbol Muslim bukanlah pakaian. Topi bukanlah suatu perkara yang amat penting untuk memajukan pemikiran persamaan, kebangsaan. Tetapi, sebagaimana telah kita laksanakan di tahun 1925, kita tidak setuju atas semua usaha Kaum Kemalis untuk men-Turki-kan setiap ucapan di segenap aktivitas shalat terutama sekali lafal Surat Al-Fatihah.
Sekarang kita berdiri melakukan protes dengan seluruh jiwa raga kita, karena Agama Islam dihapuskan di Turki, sebagaimana ditegaskan di akhir tulisan Tuan Ahmad Hilmy: “Agama Baru (di Turki) saat ini adalah Penyembah Setan.” Berdasarkan tulisan Tuan Ahmad Hilmy itu pulalah kami mengajukan pertanyaan: “Itukah hasil Nasionalisme Kaum Kemalis?”
Apabila kita berfikir bahwa sepanjang faham yang umum diakui setiap orang, nasionalisme itu hanyalah masalah pemikiran, bahwa nasionalisme adalah sebuah kesepakatan atas kesepahaman untuk menjadi Satu Bangsa, bahwa nasionalisme itu adalah perasaan bersama atas suatu “Natie” (Nation), yang apabila hal itu telah direalisasikan, mereka memiliki organisasi politik yang disebut “Staat” (State), maka sungguh tersesatlah Nasionalisme Kaum Kemalis, karena dengan nasionalisme itu menjadi penyebab terancamnya Agama Islam di Turki. Nasionalisme semacam itu adalah nasionalisme yang telah menyalahi substansinya dan bahkan telah melampaui makna nasionalisme itu sendiri, dan bahkan telah berubah menjadi penyakit “modernisme” yang hanya mengakui Kewadagan (Materialisme) saja.
Di Indonesia sendiri, yang saat ini rakyatnya sedang memulai dan belajar serta membangkitkan jiwa nasionalisme, terlihat pula tanda akan menggiring nasionalisme menuju arah yang tidak benar. Beberapa saudara kita yang mengaku dirinya Muslim berkata: “Sekarang kami hendak menjadi nasionalis terlebih dahulu. Apabila negeri ini telah merdeka, maka kami akan berusaha mengatur pemerintahan berdasarkan Islam”. Jelas sekali hal tersebut merupakan perasaan nasionalisme sesat dalam pandangan Islam!
Ada pula saudara kita yang mengaku beragama Islam tetapi apabila mereka hendak berbicara di vergadering-vergadering, tidak suka mengucap “salam” menurut adat kebiasaan Muslim. Dan apabila di vergadering mereka mendengar ucapan salam dari seorang pembicara Muslim, mereka tidak menjawabnya. Padahal sebagaimana telah jelas di Quran Surat An-Nisa’: 86 Allah Ta’ala memerintahkan: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Ada pula beberapa saudara yang mengaku beragama Islam tetapi dalam ber-nasionalisme mereka bersikap neutraal terhadap semua agama bahkan kepada agamanya sendiri (Islam). Sungguh tersesatlah nasionalisme yang demikian itu bagi kita sebagai orang Muslim. Oleh karena itu, agar tidak makin jauh kesesatan nasionalisme seperti itu dalam dunia Islam kita, akan kami jelaskan apa itu Nasionalisme dalam Islam.
SELANJUTNYA > HOS Tjokroaminoto: Islam Dan Nasionalisme (2) Nasionalisme dalam Islam
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
Disadur dari koran Fadjar Asia 14 Dzulhijah 1347 – Jum’at 24 Mei 1929 oleh Dr. Aji Dedi Mulawarman (Kang Aji). Tulisan ini telah disesuaikan, Insya Allah tanpa merubah makna dan substansi isi dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) menurut Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

ConversionConversion EmoticonEmoticon