|  | 
| Ilustrasi Kakbah. Sumber: Google | 
Sayangnya, ibadah suci ini dilakukan hanya sekedar formalitas belaka dan terkesan miskin makna. Berjuta-juta umat Islam Indonesia telah berbondong-bondong datang kepada-Nya, tapi sejuta persoalan yang membelit bangsa ini ternyata tak jua tertuntaskan. Adakah yang salah dengan pelaksanaan haji selama ini? Ataukah niat jamaah haji yang melenceng dari tujuan mulia disyariatkannya ibadah ini?
Sejak dulu, ibadah ritual ini menyimpan sejuta kisah yang perlu dikupas sebagai pembelajaran bagi mereka yang hendak bepergian melaksanakannya. Bertebarannya buku-buku prihal haji di etalase toko buku menjelang momen haji, selayaknya menjadi bekal pengetahuan bagi calon jamaah sebelum mereka berangkat ke tanah suci. Ada banyak buku yang mengupas prihal haji agar dilakukan tak hanya sekedar perjalanan pariwisata belaka.
Penulis menyarankan pada siapapun, bagi yang akan melaksanakan ibadah haji, agar terlebih dahulu memamah informasi prihal haji yang bertaburan dari buku-buku. Anda tinggal memilihnya saja. Mau membaca buku yang ditulis oleh orang yang lebih dulu ke sana, ada Sketsa Haji : Serba Serbi Perjalanan Haji Orang Indonesia karya M.Saerozi. Atau yang berisi tips agar tetap prima selama perjalanan haji yang panjang dan melelahkan itu, ada Tetap Sehat Selama Menunaikan Ibadah Haji yang disunting oleh Sulastomo selaku Penasehat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Atau anda hendak mencicipi suguhan haji dari sisi esensialitas peribadatannya yang suci, cobalah mencomot racikan Haji-nya Ali Syari’ati.
Bagi tokoh revolusioner Iran itu, haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Pertunjukan drama kehidupan dipertontonkan sebegitu transparannya hingga diibaratkan setiap manusia yang datang ke Mekkah, seperti mempelajari kembali filsafat penciptaan Adam. Intinya, ibadah haji mengandung ajakan pada manusia agar hidupnya memiliki tujuan.
Gambaran itu bisa disaksikan lewat setiap rukun haji yang memiliki makna tersembunyi. Tugas jamaah haji adalah menelusuri makna yang tersembunyi itu, agar nantinya pasca sepulangnya dari tanah suci menjadi pribadi yang mampu melakukan perubahan sosial di masyarakat. Semangat membawa perubahan itulah yang harus menjadi oleh-oleh para jamaah haji sepulangnya ke tanah air. Dan itulah oleh-oleh yang dulu ditakuti oleh kolonial Hindia Belanda.
Dalam Historiografi Haji Indonesia, Saleh Putuhena menuturkan bila ibadah haji telah ikut serta menanamkan benih-benih nasionalisme ke dalam dada para jamaah. Tidaklah mengherankan bila mereka, para jamaah haji itu, sepulangnya ke tanah air mampu mengobarkan perlawanan di setiap daerah masing-masing. Pemberontakan Cilegon adalah bukti konkrit perlawanan itu. Haji Abdul Karim, Haji Marjuki, Ki Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid adalah nama-nama pelopor perlawanan itu yang sebagian anak buah mereka terdiri dari para haji.
Inilah kemudian yang membuat para ambtenaar kolonial mengidap penyakit hajiphobia. Segala hal yang berkaitan dengan haji dianggap membahayakan. Ia harus diawasi, diintai, dibatasi ruang gerak-geriknya. Ibadah haji ternyata tak berdiri sendiri. Ia berkait kelindan dengan persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ketakutan berlebihan pemerintah kolonial itu mengakibatkan mereka mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan ibadah haji dengan melahirkan resolusi di tahun 1825.
Ketatnya persyaratan bagi tiap individu yang hendak ke tanah suci pasca ditetapkannya resolusi 1825 itu, dihadirkan dengan lugas dalam Berhaji di Masa Kolonial. Resolusi 1825 itu diarahkan pada pembatasan kuota dan membatasi ruang gerak gerik jamaah haji. Salah satu di antaranya adalah ditetapkannya ongkos naik haji sebesar f.110 (Dien Madjid, 2008). Meski tak berjalan efektif, pemerintah kolonial seakan tak jerih untuk tetap mengekang umat Islam yang makin berduyun-duyun datang ke tanah suci. Ordonansi 1859 dan 1922 kemudian diketok dengan memiliki tujuan yang sama, menjerat para calon jamaah haji agar tak mengancam eksistensi politik pemerintah kolonial di Hindia.
Sebagaimana dijelaskan oleh Dien Madjid, di masa lalu, haji adalah gelar yang begitu prestisius. Dengannya, status sosial seseorang bisa terangkat dan mampu memiliki wibawa serta pengaruh besar mengkonsolidir gerakan rakyat. Semangat untuk menghancurkan berhala-berhala berupa penindasan, kesewenang-wenangan menjadi motivasi jamaah haji Indonesia untuk tetap pergi ke Mekkah. Meskipun ada sebagian kecil dari mereka yang mendapat gelar ‘Haji Singapura’, karena perjalanan mereka yang hanya sampai di Singapura saja.
Di luar itu, berhaji lewat buku, menurut penulis, harus lebih dulu dilakukan sebelum berhaji ke tanah suci. Hal ini bertujuan agar calon jamaah haji tahu akan apa dan bagaimana seharusnya mereka bersikap dan berprilaku, baik itu sebelum, selama serta sesudah menunaikan ibadah haji. Bukankah pangkat kemabruran jamaah haji itu bisa dilihat dari tindak tanduknya? Dan tentu anda ingin menjadi haji yang mabrur, bukan hanya mendapat gelar haji yang berfungsi menaikkan status sosial semata. Bukankah begitu?
Muhammad Shofa
Koordinator Bibliopolis Book Review Surabaya.

ConversionConversion EmoticonEmoticon